Showing posts with label Books. Show all posts
Showing posts with label Books. Show all posts

25 November 2018

Belajar Lagi Menjelang...

Sebagai anak tunggal yang dibesarkan tanpa melihat sosok adik kecil apalagi bayi, aku merasa sangat sangat minim pengetahuan tentang dunia perbayian. Padahal, kalau secara hitungan kalendernya Pak Dokter insya Allah sekitar 1,5 bulan lagi aku akan mulai memasuki lembaran baru; mengurusi bayi. Takut? Oh tentu tidak. Panik? Nah, ini nih.. 

Pengalamanku (berusaha) menghadapi anak kecil tidak berjalan mulus dan lumayan membuat trauma, sejujurnya. Pengalamanku itu berawal dari semasa sekolah dulu (kalau nggak salah zaman SMP), sewaktu ada acara pesantren kilat yang mengharuskan kita menginap di salah satu pesantren. Anak dari salah satu guru (atau penjaga?) pondok ada yang masih balita. Berusaha ramah lah aku ke dia, dengan girangnya menyapa, "Haaaaaalooooo.." Seketika, anak itu langsung lari menjauh dan menangis! Apa aku terlalu seram? T_T

Pengalaman kedua, terparah sih menurutku, adalah semasa SMA. Di lift sebuah mall, masuklah seorang suster menggendong bayi putih sipit nan lucu. Dengan pedenya langsung aku goda anak itu. Yaaa cuma ala-ala ci-luk-ba biasa padahal. Tidak menunggu lama, raut wajah si anak lucu itu langsung berubah dan ia menangis sejadi-jadinya. Yassalaaam.. Mampus lah aku. T_T

Dari dua pengalaman buruk dengan anak kecil itu, aku jadi nggak mau kepedean mendekat ke anak kecil. Kalau ada jenis orang yang suka anak kecil sampai bisa sebegitu akrab dan ramahnya dengan anak kecil, mungkin aku adalah jenis yang sebaliknya. Aku sudah nggak pede duluan dan skeptis akan bisa diterima dengan baik oleh mereka. Yaaa daripada malu-maluin kan. Beda lagi kalau main dengan anak kisaran umur 4-6 tahun, justru mereka biasanya nggak mau lepas karena.. hehehe.. aku terbawa frekuensi mereka dan malah mirroring kelakuan mereka. Hihihi

Nah, dari segala kekhawatiranku tentang perbayian ini, akhirnya mulai beberapa minggu lalu aku mulai mencari referensi sana-sini dan akhirnya menemukan buku yang menurutku sesuai. Ini dia, The Baby Book, karangannya William, Martha, Robert dan James Sears. Sebetulnya ada juga yang sudah aku download tapi belum terlalu banyak kubaca, yaitu Ina May's Guide to Childbirth. Dari kedua buku itu aku lebih cocok baca yang The Baby Book karena bahasa penyampaiannya yang sangat mengalir. Rasanya seperti diajak ngobrol langsung sama para penulisnya.



Buku The Baby Book ini menurutku cukup lengkap, mereka membahas mulai dari persiapan persalinan, persiapan parenting, bonding, gambaran tentang cara menidurkan bayi, bahkan sampai cara menolong anak saat terjadi keadaan emergency. Sebagai anak yang tidak pernah melihat tumbuh kembang bayi secara langsung, aku pribadi merasakan suasana yang menyenangkan saat membaca buku ini. Para penulis menggambarkan setiap step dengan sangat baik. Nggak heran, karena William sendiri adalah dokter spesialis kandungan dan istrinya, Martha, adalah bidan dan mereka telah memiliki 7 orang anak kandung dan 1 orang anak angkat yang mereka dampingi juga waktu sang ibu melahirkannya. 

Beberapa pengetahuan tentang persalinan juga mulai aku cari lewat Youtube, salah satunya kanal milik Bidan Yessie dari Bidan Kita. Yoga pun sempat sekali aku coba, mencontoh gerakan di Youtube. Tapi apalah daya, karena memang jarang gerak, badan rasanya jadi remuk semua. Hahaha. Semoga setelah ini nggak kapok lagi lah ya. Dan semoga pencarian ilmu ini juga nggak terlambat dan masih bisa terkejar. Yah, sekolah pakai metode akselerasi aja bisa kok ya, hihihi. Wish me luck! :D





29 July 2018

Pintu Terlarang - Sekar Ayu Asmara

Selama bertahun-tahun, yang kutahu Pintu Terlarang adalah film karya Joko Anwar. Baru sekitar dua bulan lalu, seperti biasa di toko buku langganan, mataku terpaku pada novel berjudul sama. Anehnya, buku ini bukan karangan Joko Anwar namun karya Sekar Ayu Asmara. Novel ini ternyata pertama diterbitkan di tahun 2004, dan baru lima tahun kemudian difilmkan oleh Joko Anwar. Filmnya sendiri belum pernah kutonton karena susah banget carinya dan setahuku memang hanya diputar saat festival-festival.


Novel ini bergenre thriller dan bercerita seseorang yang mengidap Schizophrenia akibat penyiksaan-penyiksaan dari orang tuanya yang dialami sejak kecil, atau bisa kita sebut dengan "child abuse" atau "domestic violence". Cerita berawal dari gambaran kekerasan kepada anak kecil itu sendiri yang benar-benar biadab. Cukup kaget karena ini bukan awal cerita yang nyaman, sebetulnya. Namun di bab kedua dan seterusnya, kita lebih banyak diajak berjalan-jalan ke kehidupan pematung tenar bernama Gambir yang hidupnya serbasempurna bersama istri dan belahan jiwanya, Talyda. Cerita Gambir dan Talyda disisipi cerita Ranti, seorang jurnalis yang tulisan-tulisannya lebih banyak mengangkat sisi kemanusiaan.

Sampai 7/8 buku ini bahkan aku masih nggak bisa menebak akhir dari cerita ini seperti apa. Sudut pandang pencerita yang berganti-ganti awalnya membingungkan, namun memasuki bab ketiga-keempat aku sudah mulai terbiasa dan malah membuatku makin penasaran di bagian mana yang bersisian antara si anak Schizophrenia, Gambir-Talyda, dan Ranti. 

Di banyak bagian terdapat kalimat dan paragraf yang diulang, terutama pada cerita milik anak Schizophrenia, Gambir, dan Talyda. Kalimat-kalimat itu mungkin bagi beberapa orang akan mengganggu, tapi bagiku malah seperti penekanan atas suatu peristiwa atau perasaan yang menggambarkan lubuk hati terdalam para tokoh dan cenderung seperti narasi pembicaraan para tokoh dalam hati. Di sisi lain, penamaan lokasi yang fiksi dicampur dengan merek-merek ternama yang fakta membuatku sedikit terganggu. Tapi yah, mungkin itulah yang namanya novel fiksi dan aku harus baca lebih banyak lagi supaya dapat lebih banyak referensi dan bisa menilai lebih obyektif. Secara keseluruhan, novel ini memiliki bahasa yang mudah dicerna, alur cerita yang membuat penasaran, plot twist yang tak terduga serta sentuhan "gore" yang belum lazim diangkat novel lain.

Ngomong-ngomong, dengan novel ini aku resmi memecahkan rekor membacaku. Yang sebelumnya aku membaca Saman dalam waktu 24 jam, kali ini aku hanya menghabiskan waktu 12 jam dengan jumlah halaman yang hampir sama. Yeaaaah!







03 June 2018

Saman - Ayu Utami

I should be proud of myself, karena.. Setelah sekian lama vakum dari dunia baca membaca akhirnya  aku "pecah telor" baca buku dengan waktu yang relatif singkat; 200 halaman dalam waktu (kurang-lebih) 24 jam!

Sabtu malam kemarin, seperti biasa aku menemani Rizal dan kawan-kawan main billiard di kawasan Dharma Husada. Karena nggak bisa main, aku memilih menyeberang ke toko buku yang ada di depannya, persis seperti ceritaku beberapa minggu lalu (baca ceritanya di sini). Menghabiskan waktu sekitar setengah jam mengitari rak-rak dengan susunan buku yang cukup membingungkan (dan berantakan), akhirnya mataku terpaku pada buku bersampul unik ini, Saman karya Ayu Utami. Sebelumnya aku pernah membaca Bilangan Fu, karyanya yang lain, sekitaran masa akhir kuliah dulu. Tapi ya begitu. Karena inkonsisten dan masih terdistraksi penggarapan skripsi (selain karena bukunya yang cukup tebal), sampai sekarang mungkin baru tiga per empatnya saja yang rampung terbaca. Hehehe



Sekilas tentang Saman, novel ini betul-betul terasa identitas bahasa penyampaian yang sangat "Ayu Utami". Bedanya dengan Bilangan Fu, tempo Saman terasa lebih cepat (mungkin karena jumlah halamannya juga berbeda, ya), bahkan hampir di seluruh bagiannya aku membaca tanpa jeda. Saman benar-benar membuka wawasanku tentang era Orde Baru yang hanya sempat sedikit kurasakan di masa kecilku karena masih dalam usia bermain yang tidak tahu seperti apa  sebetulnya perjuangan menggapai Reformasi. Yang ada di ingatanku hanya sebatas bekas ban-ban yang dibakar berserakan di sekitaran Tugu, yang kusaksikan dari becak saat awal menjejakkan kaki di Jogja bersama orang tuaku, serta pemandangan pintu-pintu toko bertuliskan "PRIBUMI" dari pilok.

Pada sinopsis yang terletak di sampul belakang, Saman bercerita tentang empat perempuan yang bersahabat sejak kecil dan dua diantaranya jatuh cinta pada orang yang sama, Saman. Pertanyaannya, "Kepada siapakah Saman akhirnya jatuh cinta?" Mungkin kalau tidak ada nama Ayu Utami di sampul depannya, aku tidak akan membeli novel ini karena sekilas petikan ceritanya hanya seperti teenlit yang berkutat di percintaan remaja. Namun ternyata, aku tidak salah beli. Sejak awal, kita diajak berjalan-jalan ke cerita tokoh-tokoh lain yang bahkan sempat membuatku bertanya dalam hati,"Ini mana Saman-nya, sih??"

Dengan plot maju-mundur, Ayu Utami berhasil menggambarkan perjuangan-perjuangan rakyat jelata dalam menghadapi kekuatan yang digdaya, feminisme yang digambarkan dari empat sahabat dengan kisahnya masing-masing, seksualitas yang digambarkan dengan cukup gamblang dalam bahasa sastra yang tidak murahan, serta dibumbui sedikit cerita mistis dari daerah yang baru babat alas. Cerita dalam novel ini tidak akan terbangun apik tanpa latar belakang yang kuat dari seorang Ayu Utami yang mantan wartawati, salah satu profesi yang saat itu bagai menggadaikan nyawa.

Buku yang pertama rilis menjelang akhir masa Orde Baru ini tentu sangat berani mengungkap konspirasi berbahaya dari kekuatan-kekuatan superpower di kala itu. Di samping itu, Ayu Utami juga berani menceritakan seksualitas yang saat itu masih sangat dianggap tabu. Mungkin kalau di zaman penjajahan ada Pramoedya Ananta Toer, di era Orde Baru (salah satunya) ada Ayu Utami. Untung saja buku ini tidak dibatalkan peluncurannya, pengarangnya masih hidup, bahkan sampai sekarang Saman telah diterjemahkan setidaknya ke 10 bahasa. Novel pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, diulas, dan dikupas lebih dalam bahkan setelah 20 tahun umurnya. Nggak percaya? Buku ini sudah dijadikan bahan dari banyak skripsi dan jurnal, lho (baca di sini).

Baiklah, demikian dulu ulasan ala-ala dari newbie reader ini. Semoga berguna yaa..





06 May 2018

Some Progress that Matter

"Gimana, apa kabar resolusi 2018?"

Pertanyaan dari Mba Yuwan belum lama ini rasanya benar-benar menampaaarrrr! Bagaimana tidak? Lha wong 2018 sudah berjalan hampir separuh jalan, resolusi pertama dan kedua belum benar-benar terlaksana. Padahal itu adalah dua goals yang menurutku terpenting tahun ini (cerita tentang resolusi 2018-ku ada di sini).

Sebetulnya sudah sejak menamatkan Aroma Karsa aku kepingin beli buku lagi. Tapi karena nggak sempat-sempat nyeberang ke toko buku yang jaraknya nggak lebih dari 100 m di depan kantor, akhirnya rencana beli puku tertunda terus (well, antara nggak sempat atau nggak menyempatkan beda tipis sih ya). 

Ternyata kemarin Sabtu Rizal minta ditemani main bilyard bersama teman-temannya. Kebetulan sekali, pikirku, karena tepat di depan tempat bilyardnya ada toko buku kecil yang dari beberapa waktu lalu cukup menggelitik untuk ditilik karena namanya yang unik (wow it rhymes!), "tokobukumurahonline". Lah, online tapi kok ada toko fisiknya ya? Hmm.. Misteri sih. 

Begitu sampai di tempat bilyard, aku langsung menyeberangi jalanan yang cukup lebar saat matahari bagaikan ada dua siang itu (saking panasnya) menuju ke toko buku. Sesampainya di sana, bukannya senang tapi kecewa. Iya, kecewa. Karena aku disambut tumpukan tisu kering, tisu basah, dan juga beberapa perkakas rumah tangga. Ini sebetulnya toko apaan sih?? Dengan kekuatan pikiran positif, aku berjalan ke bagian dalam toko; rak buku dan alat tulis, alat menggambar dan mewarnai, kanvas yang ditata sekenanya... pakaian dalam??? Ok, kalau di sini ternyata nggak menjual buku bacaan mungkin aku akan beli pensil warna (desperate mode: on).

Setelah beberapa lama mengelilingi toko buku dengan gontai, akhirnya aku melihat satu hal yang tadi luput dari pandanganku: tangga! Astaga, bahkan tangga pun didominasi tumpukan tisu sampai-sampai terkamuflase seperti gudang. Setelah sempat bertanya ke penjaga toko, akhirnya aku bergegas menuju ke lantai dua yang ternyata surganya buku bacaan, novel dan komik. Di lantai dua, kondisi buku-buku bertebaran tidak hanya di atas meja tapi juga di bawahnya, semakin membuat si awam-karya-sastra ini kebingungan. Kapan-kapan deh, kalau ke sana lagi aku fotoin.

Setelah sekitar satu jam berputar-putar, akhirnya aku membeli Inferno-nya Dan Brown, pengarang yang beberapa bukunya sempat aku koleksi semasa SMP tapi berakhir hilang dipinjam orang (hiks). Buku ini bukan buku baru sebetulnya, bahkan juga sudah sempat difilmkan. Tapi karena belum sempat punya dan baca, pun sinopsis di halaman belakangnya menarik, jadilah aku membeli buku ini. Saat membayar, ternyata pegawainya menawariku untuk membuat kartu anggota dan kartu diskon dengan membayar IDR 30ribu supaya buku yang aku beli nanti mendapat diskon selama 4 bulan kedepan. Menurutku cukup worth ya, misalnya novel Inferno ini, harga pasarannya IDR 145ribu, harga toko IDR 118ribu (kalau nggak salah), menjadi IDR 103ribuan dengan kartu diskon. Wow murah bangeeeet! Jadi ingat sama Toga Mas Condong Catur, Jogja, toko buku dengan harga super miring.



Sebetulnya inti dari cerita ini, aku ingin menceritakan pogress "penyembuhan" dari kecanduan media sosialku dan juga progress membacaku selama sehari kemarin. Entah karena gaya cerita Inferno yang cukup mengalir atau karena memang novel ini adalah tipe novel yang aku sukai, dari siang setelah aku beli sampai malam sebelum tidur aku berhasil membaca kira-kira 120 dari total 700 halaman. Not bad, kan? Sebagai manusia yang mudah terdistraksi notifikasi handphone, aku merasa cukup bangga karena bisa merasakan cukup tenggelam kedalam ceritanya. Rasanya bisa kembali menjadi "Bonbon jaman SD-SMP", hihi. 



Harapanku, semoga minggu depan bisa balik lagi ke toko buku itu untuk membeli buku baru lagi. Amiiiin..



18 March 2018

Terima kasih, Aroma Karsa

Waktu itu Selasa sore menjelang jam pulang kantor, 13 Maret 2018, paket untukku ternyata sudah duduk manis di meja satpam kantor.

Tidak terlalu berat, namun yang pasti tebal.
Meskipun sudah tahu isinya, napasku  agak naik-turun. Mungkin karena adrenalin yang meningkat.
Deg-degan. Pasti.
Nervous. Jelas.

Aroma Karsa versi cetak.
Beserta tanda tangan penulisnya.
Jujur, ini pertama kalinya.




Itu berarti, saatnya berpisah dengan cerbung digital yang kuikuti selama dua bulan, tiap dua kali seminggu.
Menanti bagian baru muncul tiap Senin dan Kamis pagi, sembari menahan penasaran saat cerbung sudah sampai di setiap bagian akhir.

Kehilangan itu pasti.
Sebuah kebiasaan yang terhenti pasti akan menimbulkan lubang di hati.



Dan aku sangat berterimakasih atas ide Dewi 'Dee' Lestari untuk membuat versi cerbungnya terlebih dahulu.
Karena sebagai orang yang terkena sindrom "malas membaca buku tebal dan cerita panjang", melihat tebalnya Aroma Karsa di meja atau rak toko buku pasti akan membuatku niat beliku urung.

Terima kasih, terima kasih, terima kasih.
Karena berkat cerbung ini, berkat cerita di novel ini, keinginanku untuk membeli buku muncul kembali.


Love,


04 February 2018

Terapi Membaca lewat Aroma Karsa

Berada di tengah padatnya pekerjaan selama delapan jam sehari (yang biasanya lebih) dalam lima hari seminggu, rasanya saat ini sangat sulit menyempatkan waktu untuk sekedar membaca buku. Hiburan-hiburan instan seperti talkshow komedi di TV dan social media hopping jadi pelarian paling nikmat setelah makan malam sampai menjelang tidur. Rasanya "satu minggu satu buku" atau "satu bulan satu buku" adalah gerakan yang terlalu muluk-muluk dan jauh tinggi di angan-angan untuk saya pribadi. Padahal di awal tahun saya sudah pernah menuliskan resolusi 2018 yang salah duanya adalah social media diet dan read real books. Dua resolusi itu berkorelasi. Maksud hati, kalau saya harus mengurangi berselancar di media sosial, maka saya harus mengkompensasinya dengan baca novel. Real books sendiri sih maksud hati ya novel, bukan baca sekedar baca koran apalagi berita online yang isinya singkat-singkat.

Sempat agak bingung gimana cara menunaikan resolusi itu, terutama bagian menggiatkan membaca buku. Saya jarang main ke toko buku. Belum lagi, saya sudah nggak mengikuti perkembangan kesusastraan Indonesia. Alhasil, penulis dalam negeri yang bukunya bagus pun saya nggak tau. Beberapa tahun terakhir ini sebenarnya saya sempat membeli total empat-lima buku berbahasa inggris dan indonesia, tapi saat membaca selalu terdistraksi handphone yang berbunyi sehingga tidak ada satu pun buku yang berhasil tuntas dibaca. Selain itu, mungkin karena terlalu dimanjakan dunia media sosial, saya jadi tidak telaten membaca paragraf panjang. Keadaan ini berbeda sekali dibandingkan saat saya masih SD dan SMP, saat-saat dimana saya dengan mudahnya hanyut dan tenggelam dalam imajinasi saat membaca novel.

Bagai gayung bersambut, sekitar minggu kedua bulan Januari salah satu penulis favoritku dari jaman SMA (atau bahkan SMP?), Dewi 'Dee' Lestari mengumumkan presale buku terbarunya, Aroma Karsa. Kali ini Ibu Suri, panggilan Dee Lestari, tidak langsung merilis hard copy-nya ke pasaran. Beliau lagi-lagi menerbitkannya dalam bentuk cerbung online. Terngiang perasaan hangat setiap kali selesai membaca buku beliau,  dengan harga yang saya rasa sangat terjangkau, saya nggak berpikir dua kali untuk langsung berlangganan.