03 June 2018

Saman - Ayu Utami

I should be proud of myself, karena.. Setelah sekian lama vakum dari dunia baca membaca akhirnya  aku "pecah telor" baca buku dengan waktu yang relatif singkat; 200 halaman dalam waktu (kurang-lebih) 24 jam!

Sabtu malam kemarin, seperti biasa aku menemani Rizal dan kawan-kawan main billiard di kawasan Dharma Husada. Karena nggak bisa main, aku memilih menyeberang ke toko buku yang ada di depannya, persis seperti ceritaku beberapa minggu lalu (baca ceritanya di sini). Menghabiskan waktu sekitar setengah jam mengitari rak-rak dengan susunan buku yang cukup membingungkan (dan berantakan), akhirnya mataku terpaku pada buku bersampul unik ini, Saman karya Ayu Utami. Sebelumnya aku pernah membaca Bilangan Fu, karyanya yang lain, sekitaran masa akhir kuliah dulu. Tapi ya begitu. Karena inkonsisten dan masih terdistraksi penggarapan skripsi (selain karena bukunya yang cukup tebal), sampai sekarang mungkin baru tiga per empatnya saja yang rampung terbaca. Hehehe



Sekilas tentang Saman, novel ini betul-betul terasa identitas bahasa penyampaian yang sangat "Ayu Utami". Bedanya dengan Bilangan Fu, tempo Saman terasa lebih cepat (mungkin karena jumlah halamannya juga berbeda, ya), bahkan hampir di seluruh bagiannya aku membaca tanpa jeda. Saman benar-benar membuka wawasanku tentang era Orde Baru yang hanya sempat sedikit kurasakan di masa kecilku karena masih dalam usia bermain yang tidak tahu seperti apa  sebetulnya perjuangan menggapai Reformasi. Yang ada di ingatanku hanya sebatas bekas ban-ban yang dibakar berserakan di sekitaran Tugu, yang kusaksikan dari becak saat awal menjejakkan kaki di Jogja bersama orang tuaku, serta pemandangan pintu-pintu toko bertuliskan "PRIBUMI" dari pilok.

Pada sinopsis yang terletak di sampul belakang, Saman bercerita tentang empat perempuan yang bersahabat sejak kecil dan dua diantaranya jatuh cinta pada orang yang sama, Saman. Pertanyaannya, "Kepada siapakah Saman akhirnya jatuh cinta?" Mungkin kalau tidak ada nama Ayu Utami di sampul depannya, aku tidak akan membeli novel ini karena sekilas petikan ceritanya hanya seperti teenlit yang berkutat di percintaan remaja. Namun ternyata, aku tidak salah beli. Sejak awal, kita diajak berjalan-jalan ke cerita tokoh-tokoh lain yang bahkan sempat membuatku bertanya dalam hati,"Ini mana Saman-nya, sih??"

Dengan plot maju-mundur, Ayu Utami berhasil menggambarkan perjuangan-perjuangan rakyat jelata dalam menghadapi kekuatan yang digdaya, feminisme yang digambarkan dari empat sahabat dengan kisahnya masing-masing, seksualitas yang digambarkan dengan cukup gamblang dalam bahasa sastra yang tidak murahan, serta dibumbui sedikit cerita mistis dari daerah yang baru babat alas. Cerita dalam novel ini tidak akan terbangun apik tanpa latar belakang yang kuat dari seorang Ayu Utami yang mantan wartawati, salah satu profesi yang saat itu bagai menggadaikan nyawa.

Buku yang pertama rilis menjelang akhir masa Orde Baru ini tentu sangat berani mengungkap konspirasi berbahaya dari kekuatan-kekuatan superpower di kala itu. Di samping itu, Ayu Utami juga berani menceritakan seksualitas yang saat itu masih sangat dianggap tabu. Mungkin kalau di zaman penjajahan ada Pramoedya Ananta Toer, di era Orde Baru (salah satunya) ada Ayu Utami. Untung saja buku ini tidak dibatalkan peluncurannya, pengarangnya masih hidup, bahkan sampai sekarang Saman telah diterjemahkan setidaknya ke 10 bahasa. Novel pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, diulas, dan dikupas lebih dalam bahkan setelah 20 tahun umurnya. Nggak percaya? Buku ini sudah dijadikan bahan dari banyak skripsi dan jurnal, lho (baca di sini).

Baiklah, demikian dulu ulasan ala-ala dari newbie reader ini. Semoga berguna yaa..





No comments:

Post a Comment