27 April 2020

Judul Mainstream: Di Tengah Pandemi

Well, aku ngga pernah menyangka akhirnya yang akan membawaku kembali nulis di sini adalah si wabah Covid-19. Minggu ini memasuki minggu keenam kantorku menerapkan sistem WFH (Work From Home) dan WFO (Work From Office) bergantian untuk mengurangi dampak penularan virus Covid-19. Bagi aku, WFH rasanya justru seperti cuti gravida yang datang lebih awal (usia kandunganku sekarang sudah sekitar 32 minggu btw)). Dan rasanya seperti mengulang masa-masa menunggu Baby R lahir dimana aku sendirian di rumah dan nggak ada hal berfaedah yang bisa aku kerjakan. Bedanya, sekarang usaha rebahan di rumah aja sangat dihargai daripada keluar rumah atau kumpul-kumpul. 

Selain kegiatan kantor yang sangat jauh berkurang, kegiatan rumah tangga pun juga berkurang. Jadi sekitar dua bulan yang lalu aku ambil cuti seminggu untuk mengobati rindu Jogja yang sudah kutahan hampir setahun lamanya karena terakhir aku pulang ke Jogja  adalah saat Baby R masih berumur 2 bulan. Bucket list sudah dicatat dengan tempat-tempat yang ingin aku datangi dan kuliner yang ingin aku santap. Pada akhirnya, rencana tinggal lah rencana. Sekitar dua hari setelah kedatanganku, salah satu Guru Besar UGM dinyatakan positif Covid-19 sampai-sampai (kabarnya) kampus Kedokteran dan Teknik harus dikosongkan selama jangka waktu tertentu dan disemprot disinfektan. Kampus-kampus itu dan rumahku yang hanya berjarak kurang dari 2 km, dan itu membuat aku langsung memutuskan untuk #dirumahaja serta membatalkan semua rencana jalan-jalan dan kulineran. Selama seminggu di Jogja, aku keluar rumah cuma sekali untuk beli bahan makanan di Superindo. 

Sewaktu aku berangkat ke Jogja, nggak pernah terbayangkan hal berat yang akan aku jalani di hari-hari berikutnya; aku harus meninggalkan Baby R di Jogja bersama eyang-eyangnya untuk jangka waktu yang tidak jelas sampai kapan. Pertimbangannya, saat itu kondisi persebaran virus Covid-19 di Jogja masih "hijau" namun Surabaya sudah menjadi zona merah. Di samping itu, dengan kondisi masih ada WFO di kantorku, aku harus meninggalkan Baby R dengan pengasuhnya yang datang pagi-pulang malam. Risiko ia menjadi carrier pun juga menjadi salah satu pertimbanganku meninggalkan Baby R di Jogja. Sedih sekali, mengingat 10 bulan di kandungan + 16 bulan di dunia kami hanya pernah berpisah 1x dan hanya semalam.

Minggu-minggu pertama sangat terasa berat untukku berpisah dengan Baby R, ditambah pemberitaan pandemi yang luar biasa masif membuat aku overthinking dan overwhelmed. Aku menyadari aku stres. Stresku waktu itu ada di tahap malas makan (seorang aku sampai malas makan??), bosan bersosial media dan nonton TV, bahkan Netflix pun hanya aku gonta-ganti atau menonton trailernya saja. Aku bahkan menangis saat memeluk boneka kesayangan Baby R. Puncaknya, aku minta (nodong, red.) hiburan dari suamiku; makan steak favorit kami. Ternyata cara itu cukup ampuh untuk menaikkan lagi mood-ku yang sempat amburadul.

Minggu kedua, sepertinya aku sudah mulai memasuki masa adaptasi. Aku sudah bisa berdamai dengan perasaanku, meskipun untuk berpikir yang berat-berat (garap tesis, misalnya) masih belum bisa (plus cenderung sewot kalau ada yang tanya progress-nya sampai mana). Tapi secara keseluruhan, aku sudah bisa melakukan kegiatan-kegiatanku dengan cukup tenang tanpa emosi.

Minggu ketiga-keempat, sepertinya aku sudah mulai mencapai "my new normal"; sudah mulai terbiasa "pacaran" lagi dengan suami, masak-masak cuma buat dua porsi, kesana-kemari berdua, dan lain sebagainya. Perasaan kangen pada Baby R sudah bisa di-manage dengan cukup baik. Akhirnya, otak pun sudah bisa diajak kerja sama untuk mulai memikirkan tema tesis dan baca-baca jurnal (meskipun untuk mengetik one single word masih susah).

Dari pandemi ini aku belajar banyak hal, terutama masalah pengelolaan emosi dan perasaan. Memang benar, ada kalanya kita harus mengalah dan membiarkan perasaan sedih atau bahkan stres menguasai pikiran kita. Sementara saja. Nggak usah menampik atau berpura-pura kuat. Cukup akui kalau memang kita sedang stress, memberikan ruang untuknya, dan sebisa mungkin sambil memikirkan solusi supaya perasaan ini tidak berlarut-larut. Kondisi ini mungkin nggak hanya terjadi di aku saja. Bisa jadi kamu yang sedang membaca ini tengah mengalaminya.

Tapi ini bisa saja hanya berlaku untukku ya, bukan seperti obat yang cocok untuk semua orang. Bisa jadi ketika kamu stres, kamu memilih untuk melawannya dan itu bisa jadi berhasil di kamu. Lagi-lagi, hanya diri kita sendiri yang mengerti kebutuhan batin kita. Ikuti saja dulu maunya apa. Rangkul dulu perasaan itu.

Ngomong-ngomong, pernah aku membaca semacam artikel yang menyatakan bahwa apa yang terjadi pada bumi saat ini adalah konsekuensi dari kerusakan yang ditimbulkan dari manusia. Hutan yang merupakan paru-paru bumi menderita sakit parah dalam jangka waktu yang tidak singkat menjelang akhir tahun lalu. Dua kebakaran besar terjadi di Hutan Amazon dan di Australia.  Tak lama setelahnya, muncul lah penyakit yang menyerang paru-paru manusia dan merenggut banyak jiwa. Kebetulan?

Dengan adanya lockdown di berbagai negara dan juga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di berbagai kota di Indonesia, terbukti langit terlihat lebih biru. Korban jiwa yang berguguran, mungkin adalah cara bumi untuk mencapai her new normal. Pada akhirnya kita harus memberikan ruang, tidak hanya untuk diri sendiri atas perasaan tidak biasa yang muncul, namun juga ruang untuk bumi menemukan keseimbangannya lagi.