18 January 2013

Hari ke-10 : Payung Teduh


Tuhaaan.. Rasanya sulit sekali menulis ditengah kantuk maupun mood menulis yang terbang entah kemana. Kontras sekali semangat menulis saya saat ini dengan waktu pertama mendaftar proyek 30HariBercerita akhir Desember lalu. Saat semangat dan ide menulis sudah tersedot ke papers untuk ujian akhir, menghadap layar laptop yang terang yang tersisa hanya rasa kantuk, rasa ingin refreshing dengan browsing kesana-kemari, atau sekedar melanjutkan menonton film seri favorit saya saat ini, Fringe.


Setelah beberapa hari mangkir, akhirnya saya mencoba menyemangati diri saya sendiri dengan mulai menulis tentang salah satu album favorit saya, Dunia Batas milik Payung Teduh. Tidak ada hal yang terlalu heroik saat menemukan CD ini terselip diantara album-album lain di DiscTarra selain keberuntungan karena waktu itu stok album ini tinggal satu-satunya. DiscTarra yang saya maksud adalah satu yang terletak di dalam Carrefour Amplaz, yang kalau kata saya sih kadang koleksinya sering  ajaib. Coba saja! :)




Awalnya saya belum terlalu familiar dengan lagu-lagu mereka. Hanya mendengar beberapa lagunya via Youtube. Sampai akhirnya pacar, yang telah lebih dulu suka, menonton performa mereka di Borobudur sekitar Oktober lalu. Pacar bilang personel Payung Teduh sangat ramah bahkan rela membuat konser kecil di backstage usai mereka turun panggung untuk memainkan lagu-lagu request para pecintanya yang belum dimainkan di atas panggungMakin penasaran lah saya. Hingga akhirnya saat menemukan CD mereka terduduk manis di rak DiscTarra, saya tanpa ragu langsung membelinya.


Agaknya memang para anggotanya sengaja berkonspirasi untuk melakukan sinkronasi antara nama dan lagu-lagu yang mereka buat. Payung Teduh, dengan nada-nada yang meneduhkan, menentramkan, menenangkan. Kesederhanaan instrumen yang mereka gunakan berpadu dengan cantik dengan lirik puitis yang sarat akan kerinduan. Pun, mereka memvisualisasikan kerinduan itu dengan potret percikan air hujan di kaca yang mereka letakkan di bagian dalam sampul album. Saya menjadi yakin bahwa sebenarnya saya bukanlah satu-satunya orang yang bisa merasa mellow atau mendadak rindu saat melihat hujan perlahan turun dan meninggalkan titik-titik air di kaca.

Lagu pertama, Berdua Saja, berhasil menyihir saya seketika menjadi penggemar mereka. Petikan contra bass dan gitar mendominasi di awal, menyatu sempurna dengan sentuhan vokal yang tegas dan bersahaja. Lagu-lagu selanjutnya bernafaskan nada-nada serupa dengan aksen keroncong yang kental. Sekilas saya teringat beberapa tahun yang lalu ketika saya menyadari saya jatuh cinta pada keroncong, ketika musik yang saya dengar di siaran tengah malam sebuah radio lawas lokal dengan kekuatannya berhasil meninabobokkan saya dengan manisnya.

Di beberapa lagu, instrumen lain dihadirkan untuk mempercantik lagu. Seperti salah satunya pada Untuk Perempuan Yang Sedang Di Dalam Pelukan, suara piano berhasil mengharmoni ditengah lagu yang (dalam imajinasi saya) bercerita tentang kekaguman seorang lelaki terhadap wanitanya yang berada dalam pelukan sebelum ia memejamkan mata menuju dunia mimpi. Instrumen lain adalah akordeon, hadir pada lagu Di Ujung Malam yang membuat lagu minor ini makin dalam makna rasanya. "Berbahagialah orang-orang yang dirindukan di ujung malam," komentar mereka di bawah lirik lagu ini. 

Salah satu lagu favorit saya adalah Angin Pujaan Hujan. Melodi gitar dan guitalele yang mengalun, akan sangat sempurna ketika didengarkan melalui headset dimana kedua melodi tersebut akan bersahut-sahutan di telinga kita. Lirik puitis "Sang pujaan tak juga datang. Angin berhembus bercabang. Rinduku berbuah lara," akan menambah derajat kerinduan seseorang, apalagi jika mendengarkannya ketika rintik hujan mulai turun. 

Satu lagi favorit saya, Rahasia. Lagu terlama, berdurasi hampir tujuh menit yang begitu pilu dan penuh ironi; ketika permintaan atas kembalinya seseorang terpatahkan dengan penggambaran melalui lirik-lirik menyayat seperti "Berikan tanganmu jabat jemariku. Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu. Berikan suaramu balas semua bisikanku memanggil namamu." Bagian paling putus asa menurut saya ada pada "Atau kau ingin aku berteriak sekencang-kencangnya agar seluruh ruangan ini bergetar oleh suaraku." Masih sering merinding ketika mendengar lagu ini di saat yang "tepat".


Terlepas dari anggapan beberapa orang yang menilai Payung Teduh terlalu kaku dalam liriknya yang puitis, maupun cibiran bahwa kata-kata yang dipilih sebenarnya biasa saja namun mereka hanya sok puitis, Payung Teduh dengan ciri musik yang menurut saya sangat Indonesia berhasil dicintai para penikmat musik. Tempo lagu yang pelan dan dibawakan dengan santun bekerja dengan baik dan berhasil membuat para pendengarnya menemukan tempat beristirahat dalam diri mereka sendiri, berhasil memberi ruang ketenangan dalam pikiran mereka, serta berhasil membantu menemukan pelarian atas tekanan-tekanan atau kepenatan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti, setelah peluncurannya di tengah tahun 2012, Payung Teduh dinobatkan sebagai Best New Comer ICEMA Award 2012 akhir November lalu.

13 January 2013

Hari ke-9 : Marcel Thee

Akhirnya setelah ditunda beberapa hari, hari ini saya akan cerita tentang album yang baru-baru ini saya beli dengan alasan satu-satunya: "artwork-nya menarik". Waktu itu, sekitar tengah Desember, saya pergi ke Jakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan anak teman orang tua saya. Sabtu siang, untuk mengisi waktu luang sembari menunggu resepsi di malam hari, saya mengunjungi tempat yang cukup wajib dikunjungi setiap saya ke Jakarta; lantai dasar Blok M Plaza. Di sana terdapat beberapa lapak (kalau tidak salah hitung ada 2 atau 3) yang menjual kaset-kaset lawas, piringan hitam, CD second dan beberapa CD baru. 

Setelah melakukan pertapaan yang cukup lama alias melihat-lihat satu CD ke CD lain, mengagumi satu per satu artwork CD yang unik-unik, membolak-balik banyak wadah untuk memastikan saya tahu beberapa lagu yang ada di CD-CD tersebut, akhirnya mata saya 'kecantol' album Marcel Thee satu ini. Saya tertarik dengan lukisan (atau foto?) pegunungan yang menjulang beserta refleksi pada danau di depannya. Saya sempat berpikir mungkin ini gambaran pegunungan es di Norway atau New Zealand yang sering saya lihat di internet atau televisi. Bedanya, gambaran yang selama ini saya lihat berlangit biru cerah dengan awan-awan putih yang terekam manis sedangkan di CD ini background pegunungan dengan sederhana dibuat hitam pekat. Dari sana, saya jadi bisa mengira-ngira kalau lagu di dalamanya bernuansa 'gelap'.




Benar saja. Sepulang saya dari resepsi, saya langsung mendengarkan beberapa CD yang saya beli di Blok M Plaza, termasuk CD Marcel Thee. Saya masih ingat betul perasaan saya waktu mendengar lagu Endless Heart yang ditempatkan menjadi lagu pertama di album With Strong Hounds Three ini. Saya belum tahu siapa Marcel Thee, saya tidak tahu lirik lagunya bercerita tentang apa, tapi kesederhanaan melodi yang diciptakan pada lagu ini membawa ketenangan tersendiri meskipun (sesuai dugaan saya)  kesan 'gelap' lagu ini sangat kental. Lagu pertama didominasi oleh iringan organ dan vokal yang didistorsi.

Sambil mendengarkan CD ini, saya browsing siapa Marcel Thee itu. Dan oooh.. Ternyata proyek pribadi vokalis Sajama Tree ini merupakan album lo-fi yang sarat akan nilai-nilai relijius. Dan lagi-lagi "benar saja", di kolom genre iTunes muncul tulisan religious yang baru saya sadari kemudian. Beberapa lagu, selain didistorsi, suara vokal dibuat menjadi semacam koor yang makin membangun suasana gereja di kepala kita.

Di beberapa lagu setelah Endless Heart, iringan organ digantikan dengan gitar hingga pada lagu kelima suara organ muncul kembali yaitu pada lagu Date With Curmudgeon. Berbeda dengan Endless Heart yang lebih clean, suara organ dengan nuansa ambient di lagu ini terasa sangat kental. Nuansa ambient di lagu kesembilan, Kensingtone Runston, pun tak kalah kentalnya dan membuat saya serasa dibawa berjalan-jalan, masuk ke gereja-gereja kuno di kawasan Eropa dengan ranting-ranting pohon di luarnya yang mulai gundul di musim gugur yang dingin. 

Sebuah lagu yang menurut saya cukup "lucu" adalah Biblical Summer, dimana Marcel bermain dengan nada yang cukup ceria dengan organ dan gitar, menceritakan tentang kehidupan Jesus muda di Bethlehem dengan lirik yang cukup menggelitik: "Oh, we played in Bethlehem. Where Jesus hung out and played games with his friends and smoke pot."


Marcel Thee menurut saya bisa dengan cerdas membungkus kerelijiusan dengan cara yang tidak biasa, menyanjung dan memberi persembahan untuk Tuhannya dengan cara yang segar, dan tentunya dengan caranya sendiri. Sama seperti seorang yang dengan kreatifitasnya menciptakan lagu cinta untuk sang Pacar. Tanpa menggunakan lirik menye-menye, pesan yang tersampaikan tetap jelas; dia cinta pacarnya.

12 January 2013

Hari ke-8



We sometimes don't realize how worth we are for someone, more than we've ever thought.

10 January 2013

Hari ke-7 : Anak-anak Pelalawan

Akhirnya...

Proposal skripsi berhasil dikebut selama semalam suntuk. Bagai Bandung Bondowoso modern, kemarin malam saya mengandalkan soft skill berupa menulis ditengah tingginya adrenalin menghadapi garis mati. Cukup salut pada diri sendiri yang berhasil menulis berlembar-lembar dalam hanya waktu satu malam, sekaligus sangat mengutuk kebiasaan menjadi deadliner yang idenya baru muncul saat kepepet.

Dan percayalah. Menjadi deadliner itu, meskipun awalnya seru tapi lama kelamaan cukup menyiksa juga rasanya. Kamu bertaruh dengan nasibmu sendiri. Merasa percaya diri bahwa pekerjaan yang ada bisa diselesaikan dalam waktu satu hari yang terdiri dari 24 jam. Namun jika ada kesalahan yang membuat kamu melewati garis mati itu, melewati batas 24 jam yang kamu banggakan, kamu akan benar-benar mati dengan penuh penyesalan pada akhirnya.



Jadi, hasil saya bolos nulis 2 hari adalah.... Bingung harus menulis apa. Enam hari kemarin agaknya saya cukup lancar dan sudah mulai terbiasa menulis agak panjang. Dan seperti kata pepatah, The first step is always the hardest part. Termasuk salah satunya kembali menulis. 

Waktu mulai menulis, saya terbayang-bayang suasana Pelalawan, Riau tempat saya tinggal sebulan untuk KKN Juli-Agustus lalu. Saat tidak ada kegiatan, siang hari tanpa listrik disana dihabiskan dengan sekedar tidur-tiduran atau bahkan tidur betulan di lantai ruang tamu dengan pintu terbuka, dengan angin membawa udara kering dataran Sungai Kampar, ditemani suara-suara perahu motor lalu lalang, suara  tongkang melintas membawa berton-ton kayu ke perusahaan pulp 2-3 kali di siang hari, kadang suara anak-anak bermain, berlari-larian di rumah panggung beralas kayu yang getarannya membuat kami terpaksa harus kembali bangun ke dunia nyata. Rasanya lucu juga mendengar percakapan anak-anak  dengan bahasa lokal saat mereka bermain. Seperti sedang menonton Upin Ipin secara langsung. 









Dan inilah anak yang paling saya rindukan. Rengekannya, celotehnya, keisengannya, hobinya membantu (atau lebih tepatnya mengganggu) anak-anak KKN yang sedang memasak di dapur, kemanjaannya yang makin menjadi menjelang kepulangan kami. Fandi, namanya. Anak yang sejauh kami KKN menjadi anak bontot nan manja dari keluarga tempat kami menumpang hidup. Beberapa hari setelah kami pulang, adik Fandi lahir. Semoga kamu bisa jadi kakak yang baik ya, Fan.


Selama kami di sana, sebagian besar anak-anak sedang gemar-gemarnya menonton sinetron Aladin  setiap sore sekitar maghrib, tepat setelah listrik mulai mengalir ke desa. Selama sebulan, setiap sore, melihat mereka menonton sinetron yang sama membuat kami otomatis hafal soundtrack-nya. Ditambah lagi tidak jarang Fandi bernanyi-nyanyi setelah sinetron selesai. "Aku.. Si Aladin. Punya lampu wasiat. Digosok-gosok, dielus-elus, bisa bikin orang heraaaan.." Saya masih hafal sampai sekarang.


Sekarang kalian lagi suka nonton apa ya?


07 January 2013

Hari Ke-6 : Communication





Dalam rangka sebenernya-tadi-siang-makan-yamie-Pathuk-dan-pingin-share-tapi-keburu-laper-jadi-lupa-motret-motret, akhirnya di tulisan keenam ini saya share beberapa foto panggung saya. Dua teratas  bermomen di Ngayogjazz 2011, sedangkan yang paling bawah adalah waktu Economics Jazz Live 2011. 

Kangen motret panggung, kangen nunggu momen lighting dan stage act-nya pas, kangen desak-desakan rebutan spot enak dengan juru foto lain, kangen berada di barisan yang bahkan lebih depan daripada VVIP.

06 January 2013

Hari ke-5 : Nasehat Jawa

Daripada keteteran lagi seperti kemarin, saya memutuskan untuk break nulis tentang musik-musik. Harapannya sih di hari-hari kedepan waktu saya sudah 'selo' saya baru akan nulis lagi tentang musik plus latihan menulis review yang niat dan tidak terburu-buru seperti posting kemarin. Hehehe 


Beberapa waktu yang lalu saya menemani budhe jalan-jalan ke Malioboro, lebih tepatnya ke Mirota Batik. Begitu masuk, ada sesuatu yang begitu menarik saya yaitu papan berdiri yang bertuliskan nasehat berbahasa jawa "URIP SEJATINE GAWE URIP". Jangan khawatir, dear teman-teman yang tidak bisa berbahasa jawa. Tepat di bawahnya ada terjemahan maksud dari nasehat tersebut, yakni "Hidup seharusnya memberi kehidupan yang baik bagi sekitarnya". 

Benar juga ya. Kita sebagai manusia akan menjadi manusia yang seutuhnya jika kita telah berguna bagi manusia lain yang membutuhkan. Kata kuncinya adalah 'berbagi' dan 'menerangi'. Bagaimana dengan berbagi kita bahkan bisa merasa lebih, merasa bahwa ilmu kita tidak berkurang tapi bertambah lebih banyak lagi, pun kita bisa mendapat ilmu baru yang kita serap dari orang lain. Dan juga bagaimana hal sekecil apapun yang kita bagikan dapat memberi pencerahan bagi orang-orang di sekitar kita.

Agak 'njelimet'?




Saya mungkin masih terlalu muda untuk muluk-muluk bilang kita harus berbagi, kita harus berguna, dan lain sebagainya, karena secara ilmu saya sadar saya masih bisa dibilang anak bawang. Tapi dari nasehat berbahasa Jawa yang terpampang di Mirota Batik itu lah yang memberi semangat kepada saya bahwa sesungguhnya sekecil apapun bantuan, sekecil apapun kita berbagi, kita sudah berguna dan bisa memberi ide atau wawasan baru bagi orang lain.


Saya salut. Gerakan #30HariBercerita ini saya rasa menjadi gambaran yang riil terhadap nasihat jawa itu. Urip sejatine gawe urip. Biar terlambat posting, yang penting sudah berusaha berbagi dengan orang lain. *ngeles*

04 January 2013

Hari ke-4 : Rectoverso



Sebenernya yang namanya nulis di project #30HariBercerita itu semacem guilty pleasure. Bagian pleasure-nya jelas lah ya, kita bisa berbagi, belajar nulis dan mengutarakan ide, juga bisa belajar buat komit dan konsisten atas keputusan yang udah kita buat. Guilty-nya? Tugas yang bentuknya papers buat Ujian Akhir malah jadi kelihatan nggak menarik sama sekali. Serius. Sebenarnya hari ini saya kepingin libur nulis dan fokus menyelesaikan tugas-tugas yang terbengkalai. Tapi kok rasanya ada yang 'ngganjel' ya, semacem punya utang aja gitu.

Jadi sesuai dengan sneak peek yang saya tampilkan di posting-an yang kemarin, saya hari ini akan membahas salah satu album yang menurut saya unik cara menemukannya. Rectoverso karya Dewi Lestari (Dee). Sebagai salah satu penggemar kumpulan cerpen karya Dee, Rectoverso adalah karya yang brilian menurut saya. Di bukunya, Dee menambahkan gambaran visual fotografi pada setiap cerpennya. Ditambah lagi Dee menciptakan 11 lagu yang khusus dibuat untuk masing-masing cerpennya. Semacam karya 3 in 1. Ya cerita pendek, ya karya visual, ya karya musik. Kalau saya nggak salah ingat, Dee menyebut Rectoverso sebagai karya dia yang hybrid.


Di kota tempat saya tinggal, Yogyakarta, jumlah toko musik sangat terbatas. Begitu pun variasi dan jumlah album yang ada didalamnya. Alhasil begitu keluar kota, ke kota mana pun, satu tempat yang pasti saya hampiri adalah toko musik. Waktu saya ke Madiun, kota yang lebih kecil daripada Yogyakarta dan sempat saya underestimate, saya menemukan album ini. Waktu itu sekitaran akhir tahun 2011. Yap, dalam sebuah mall yang memiliki toko musik Bulletin yang cukup kecil, sepi, dan bahkan stoknya tampak sudah lama tidak diperbarui, saya menemukan barang yang di kota saya sangat langka ini. 


Buat saya, CD ini mengandung unsur magis yang bisa bikin merinding setiap mendengar beberapa lagunya. Pun, saya pernah mencoba membaca novel Rectoverso sambil mendengar CD-nya. Saya sempat tidak mau mendengarkan CD ini untuk sekian lama apalagi waktu mendung. Sumpah, bisa bikin galau mendadak. Pasti pernah kan, merasa mellow waktu mendung atau hujan rintik-rintik? Ya kurang lebih rasanya seperti itu tapi tanpa alasan yang jelas. 


Well, sebenarnya saya iri sekali dengan Mas Mohammad Ali Perdana peserta project #30HariBercerita yang sangat fasih mereview film dan album musik [link]. Dan sebenarnya saya juga kepingin mencoba mereview album ini. Tapi apalah daya, sekitar 30 menit sebelum jam 12 malam saya baru mulai menulis dan susah fokus gara-gara tanggungan papers yang sama belum ganti halaman sejak saya buka beberapa jam yang lalu. Bahkan kata-kata di posting-an ini pun rasanya sangat acak adut saking terburu-buru menulisnya.

Ya sudah lah. Kapan-kapan saya review dengan lebih serius lagu-lagu di dalam album ini. Ciao! 

03 January 2013

Hari ke-3 : Menggiatkan #1Bulan1CD

Di era globalisasi yang serba digital ini rasanya penyimpanan dan pertukaran data soft file menjadi sangat mudah. Kita bisa klik dan upload apapun cukup dengan duduk manis dirumah untuk bisa dinikmati orang-orang seantero dunia. File sharing yang biasa kita lakukan adalah download. Pasti banyak diantara kita yang lebih banyak mengunduh daripada mengunggah, terutama untuk urusan musik. Betul begitu sodara-sodara?

Nah, Gerakan #1Bulan1CD ini awalnya dicetuskan oleh teman saya yang bernama Theo Cahya. Dia juga pernah menulis hal serupa di blognya [link]. Kalau dihitung-hitung, Theo sudah menjalankan gerakan ini secara disiplin selama hampir 1,5 tahun. Ya, saya harus bilang WOW untuk kedisiplinannya! 

Gerakan ini awalnya diusung dengan semangat memperbaiki mental diri sendiri yang sering download album dari berbagai artis dengan maruk dan membabibuta. Bayangkan, band-band yang karyanya kita download itu rekaman di studio dengan tidak gratis. Proses mixing lagu juga bayar lagi. Belum lagi manajemen, sound engineer, dan kru-kru lain yang juga butuh duit dari hasil kerja mereka dengan band-band itu. Memang sih, mereka akan dapat bayaran yang besar dari hasil manggung sana sini. Tapi coba kita lihat, begitukah cara kita mengapresiasi karya yang muncul dari tingkat intelektualitas tertinggi manusia? Dengan cara mengunduh secara cuma-cuma? Saya rasa tidak. Jadi, meski awalnya men-download, kami sudah berjanji untuk segera membeli album fisik mereka begitu tersedia di toko musik dan begitu urusan keuangan juga sudah mencukupi. 

Gerakan serupa juga sebenarnya pernah kami baca di blog seseorang waktu Theo sedang blog-walking. Rasanya senang sekali mempunyai "teman" yang juga memiliki semangat yang sama. Sayangnya saya lupa blog orang itu. Kalau suatu saat kamu membaca ini, saya rasanya kepingin dadah-dadah dan bilang "Mari lanjutkan perjuangan kita!!!!" Oke, agak lebay. 



Kenapa 1 Bulan "cuma" 1 CD?

Sebenarnya menurut saya sah-sah saja kalau kita mau beli 5 CD sekaligus dalam satu waktu atau bahkan merapel 6 CD untuk 6 bulan yang bolong. Yang terpeting sebenarnya adalah apresiasi terhadap karya seni dan memperbaiki mental download gratisan. Hanya saja, seringkali kita yang mahasiswa dan pelajar ini sulit mengalokasikan uang jajan yang terbatas untuk jumlah besar, misal beli 5 CD sekaligus dalam satu waktu. Lain halnya kalau kita "mencicil" membeli 1 CD dalam 1 Bulan. Paling kita hanya akan mengeluarkan 25-40ribu rupiah untuk album musisi lokal.


Saya pribadi, suka mengoleksi CD. Terutama CD karya anak negeri yang awalnya saya lihat performa mereka lewat situs YouTube atau Soundcloud, atau referensi dari orang-orang sekitar. Kadang pun kalau tidak ada ide mau beli album apa, saya dengan random-nya memilih CD dengan artwork yang bagus atau unik. Sayangnya, saya masih tidak sedisiplin Theo; asal ada duit, langsung beli 3-4 CD. Rasanya memang kurang "nyeni" sih dibanding Theo yang bisa menjajarkan dengan rapi ke-12 CD yang sudah dikumpulkannya sejak bulan pertama hingga bulan keduabelas. Mungkin ke-tidak-nyeni-an itu lah yang akan saya benahi dan saya masukkan sebagai salah satu resolusi di tahun 2013.


CD adalah rekaman fisik yang saat ini saya dan Theo rasa paling berharga dari seorang atau sekelompok musisi. CD akan sangat berbeda dengan file unduhan yang telanjang tanpa cover, wadah, dan karya seni visual yang secara custom dibuat berbeda antara CD satu dengan yang lainnya. Di awal Theo menggiatkan gerakan ini, dia dengan menggebu-gebu mengiming-imingi saya, "Tau nggak, CD Mocca yang album pertama ada yang jual di Kaskus harganya 250ribu dan laku! Bisa jadi CD-CD yang kita beli sekarang value-nya naik banget Bon waktu kita tua nanti. Besok kalo kita nggak punya duit, tinggal jual-jualin CD kita aja. Kayak vinyl di jaman sekarang gitu Bon!"



Jadi,
Ada saran album siapa yang sebaiknya saya beli di bulan Januari ini? :)



SNEAK PEEK!
WHAT'S ON THE NEXT POSTS




02 January 2013

Hari ke-2 : Ullen Sentalu



Seperti yang saya ceritakan kemarin, acara tahun baru bersama teman-teman SMA berakhir dengan jalan-jalan ke Ullen Sentalu. Kalau dijabarkan sesuai dengan tagline nya, tempat ini adalah Museum Seni dan Budaya Jawa. Lebih spesifik lagi, dari keterangan guide-nya, museum ini merupakan elemen penyeimbang atas kraton Yogyakarta dan Surakarta yang sarat akan maskulinitas. Dibangun di tengah rimbunnya pepohonan dan sejuknya daerah pegunungan Kaliurang, museum ini menyimpan dan memamerkan sisi kefeminiman kraton lewat cerita dan karya para puteri dan permaisuri raja. 

Sebut saja Tineke atau GRAj Koes Sapariyam, putri dari Sunan Pakubuwana XI Surakarta yang gemar menulis syair. Beliau dibuatkan satu ruangan yang khusus memamerkan surat-surat yang berisi syair beliau. Ada juga ruangan yang dipersembahkan khusus untuk GRAy Siti Nurul Kusumawardhani yang pintar, cerdas, dan sangat cantik, puteri Mangkunegara VII. Seorang puteri fasih menari adalah suatu kewajiban dan hal yang sudah biasa di kalangan keraton. Namun pada masa itu, Gusti Nurul memiliki hobi yang lain daripada yang lain yakni berkuda. 

Selain beberapa ruang spesial yang bercerita tentang para puteri dan permaisuri, Ullen Sentalu juga memiliki ruang gamelan, ruang batik khas Yogyakarta, ruang batik khas Surakarta, serta ruangan yang menggambarkan riasan pengantin tradisional jawa yang digambarkan melalui lukisan dan arca. Selain arca modern yang khusus dibuat untuk keperluan penggambaran secara riil, di sini banyak sekali arca dewa-dewi yang didatangkan langsung dari Museum Purbakala. Namun sayang sekali, hampir semua arca dewa-dewi tersebut hilang beberapa bagian tubuhnya akibat ulah pencuri dan kolektor.

Sebelum tour berakhir, kita akan diberi segelas kecil minuman awet muda yang diracik dari ramuan rahasia Ratu Mas, permaisuri Sunan Pakubuwana X yang sangat fashionable, cantik, dan tentunya awet muda.





Museum ini juga memiliki beberapa fasilitas pendukung seperti tempat pertunjukan outdoor, toko souvenir dengan desain bangunan kontemporer, serta rumah makan yang bernama Beukenhof.

Tangga menuju Beukenhof dan foto Beukenhof dari bawah


Selama tour kita dilarang keras mengabadikan gambar dalam bentuk video atau foto untuk mencegah duplikasi karya. Karya-karya yang ada di dalam Ullen Sentalu merupakan karya asli dan otentik dari keluarga keraton. Beberapa foto yang saya abadikan ini adalah foto pemandangan di luar bangunan inti.










Sekian tulisan kedua saya. Jangan lupa setelah main-main ke Ullen Sentalu pulangnya beli jadah, tempe, dan tahu bacem. Jangan makan sate kelinci ya, soalnya kelinci itu binatang innocent dan lucu. Dadah! :3


p.s.: beberapa nama permaisuri dan puteri raja yang saya lupa namanya, saya contek dari sini: [link] hehehe

01 January 2013

Hari ke-1 : Tidak Akan Pernah Tuntas

Teman lama adalah orang-orang yang bisa memberikan kehangatan dan kedamaian spesial di hati saya. Sahabat lama, teman tumbuh bersama yang mengerti kita sejak masa-masa peralihan menuju usia dewasa. Sahabat lama, biasanya memiliki toleransi lebih atas tindakan-tindakan yang mungkin melukai perasaan kita. Derajat pemakluman tingkat tinggi, kata saya.

Berdasarkan  pengamatan yang saya lakukan pada orang-orang di sekitar saya, teman SMA memang memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Mungkin karena di masa SMA kita melalui taraf peralihan ke tingkat yang lebih dewasa; masa pencarian jati diri, melepas jiwa kenanak-kanaka. Cinta pertama, ciuman pertama, patah hati, ganti lagi, ditikung, saingan, orang sirik di sana-sini, hingga drama menye-menye ala sinetron pun seringkali terjadi di masa SMA. Bisa jadi dari situlah persahabatan yang muncul dari hasil men-support satu sama lain dan rasa senasib sepenanggungan menjadi begitu tulus dan membekas hingga kita telah berumur. 

Tahun baru 2013 ini saya bersyukur bisa merayakan dengan sahabat-sahabat SMA meski tidak full team. Tidak ada pesta besar-besaran, bahkan tanpa kembang api. Hanya berkumpul, tukar cerita, reuni kecil band SMA saya, berebut daging yang-seharusnya-di-barbeque-tapi-malah-dimasak-ala-suki, liga PES para lelaki 12 jam non-stop, dan berakhir jalan-jalan pagi ke Ullen Sentalu. 


Meski baru sore tadi berpisah, rasa rindu sudah mulai terkuak.





Teman lama,

dan kerinduan yang tidak akan pernah tuntas.





Selamat tahun baru! 
Semoga kalian selalu dikelilingi sahabat yang tulus dan penuh kehangatan. :)