19 August 2018

26.5


Lewat masa kuliah, masuk ke dunia kerja, sedikit sekali waktu yang kumiliki untuk berkontemplasi. Rasanya setiap hari aku lalui begitu saja, malam hari capek dipakai tidur, akhir minggu jalan-jalan atau yah, tidur. Dulu zaman kuliah, mungkin karena juga masih di masa pencarian jati diri, aku sering sekali begadang untuk eksplorasi pemikiran orang lain dengan blog-walking, browsing dan menikmati banyak lagu dari berbagai genre, atau sekedar menuliskan buah pikiranku yang beberapa masih tersimpan baik di kolom Draft sampai sekarang. Masa-masa pencarian jati diri dengan pemikiran dan ketakutan akan seperti apa aku di masa depan.

Dan malam ini, sembari menunggu suami yang sedang futsal, aku kembali menikmati waktuku sendiri, menenggelamkan diri dalam pemikiran-pemikiranku yang mungkin selama ini hanya lewat selintas dan mulai menuliskan mereka perlahan. Beberapa tersimpan di Draft (lagi-lagi) dan salah satunya ingin aku publikasikan sekarang; daftar hal-hal yang akan aku katakan pada the 17-years-old me.
  1. Yes, kamu anak perempuan tunggal dengan aturan rumah yang lumayan ketat. Tapi jangan sampai kamu menyesal tidak puas kumpul-kumpul dengan sahabat-sahabat SMA-mu bahkan sampai menangis sesenggukan karena terlampau rindu mereka waktu sudah kerja. Sebagai bocoran, sebagian dari mereka nantinya akan kuliah dan tinggal di luar negeri, sementara kamu bekerja dibawah kontrak "bersedia ditempatkan dimanapun sesuai kebutuhan perusahaan". Belum tentu setahun sekali bisa bertemu full-team. Jadi, berargumenlah dengan masuk akal, bijaksana dan tanpa emosi pada orangtuamu (terutama mama) sebelum main dengan mereka. 
  2. Berkaryalah barang selagu-dua lagu atau bahkan sealbum dan jadikanlah karya itu bisa dinikmati dan dikenang orang banyak. Jangan menunda-nunda dan menjadikan ajakan teman-temanmu berkarya sebagai "mitos belaka". Musik adalah passion-mu, jangan sampai semangat itu mengendur meskipun jalan yang kamu tempuh nantinya adalah "jalur formal" dan "mainstream". 
  3. Baca lagi, baca terus, jangan berhenti membaca. Nanti waktu kamu kerja, makin sedikit waktumu untuk membaca, makin nggak telaten menghabiskan buku-buku yang sudah kamu beli dan berakhir jadi pemberat di koper saat kamu pindahan kesana kemari (nggak mau ditinggal karena merasa "hutang baca"). Banyak ilmu yang tidak bisa serta-merta kamu temukan dari Google. Percayalah, artikel di Google pun masih banyak yang tidak kredibel. 
  4. Nanti waktu kamu kuliah, manfaatkan waktu luangmu untuk berjalan-jalan mengeksplor daerah-daerah yang ada di Indonesia ataupun ke luar negeri. Waktu luang adalah sesuatu yang cukup langka nanti setelah kamu bekerja, apalagi diwaktu orang-orang libur, kamu malah harus bertugas. Berjalan-jalanlah sepuasnya sebelum prioritasmu bergeser, baik prioritas waktu maupun finansial.
  5. Jangan menyepelekan manajemen finansial untuk dirimu sendiri!

Pesan untuk aku-9-tahun-lalu ini mungkin akan aku jadikan juga sebagai bekal catatan untuk mendidik anakku kelak. Semoga aku bisa jadi teman curhat yang baik untuk anakku kelak, jadi bisa ikut merasakan hal-hal yang benar-benar diinginkan dan diimpikannya. Amin.


Sincerely
Calon mamak yang masih khawatir dan clueless tentang parenting




12 August 2018

Individual Life (The Parade Yogyakarta 2014)

Dalam rangka kangen motret panggung (atraksi panggung yang ada artisnya gitu yah, bukan panggung kosong terus difoto) dan sudah lama nggak update di label "Photo Journal", berikut ini kupersembahkan salah satu event yang hasil fotonya aku sukai (pede banget Ya Lord maapkeun!!)








Foto-foto ini diambil pada event The Parade tahun 2014 (yang sekarang sudah ganti namo jadi Kickfest) di penampilannya Individual Life, band instrumental yang kalau ndak salah sih personelnya mayoritas anak ISI dan sempat menelurkan album "Semoga Engkau Berkenan Mendengarnya Perlahan Hingga Usai" di tahun yang sama.

Seninya motret panggung yang aku rasakan sekitar kurang lebih 5 tahunan di kala itu yang pertama waktu harus mengatur setting-an di kamera karena memang lumayan tricky. Misalnya waktu panggung cenderung gelap dan setting-an kamera sudah pas, tiba-tiba lighting mulai meluncur dengan deras. Sebagai orang yang terbiasa dengan manual setting, akhirnya aku harus menyesuaikan setting-an lagi dengan cepat. Ada lagi momen yang aku rindukan, yaitu menunggu lighting yang pas dengan posisi personel dan bagaimana caranya supaya ambiance-nya tetap bisa tertangkap dengan baik di kamera. Selain itu, waktu aku beberapa kali jadi salah satu fotografer dalam kepanitiaan event musik, ada keuntungan terbesar yang aku dapatkan, yaitu berada di barisan paling depan bahkan lebih depan dibandingkan VVIP. Lumayan.. Bisa nonton gratis ala VVVVIP (meskipun minus tempat duduk empuk karena harus gerak terus hihi).

Awal mula aku suka sekali motret panggung adalah waktu ditugaskan untuk liputan di Java Jazz tahun 2010. Dan disitulah aku mulai belajar dan diajari motret oleh Bang Erson Padapiran, partner liputanku yang sudah cukup makan asam garam di dunia fotografi. Di Java Jazz, aku juga belajar sikut-sikutan rebutan posisi paling strategis untuk motret, plus belajar sabar kalau ternyata di depanku ada orang yang lebih tinggi. Kalau sudah begitu, biasanya aku harus cari trik supaya angle fotonya nggak bocor oleh bagian tubuhnya si orang tinggi itu (kenang-kenangan liputan Java Jazz bisa dibaca di sini).

Karena motret panggung yang nggak ala kadarnya itu cukup menguras energi yang tidak dimungkinkan dalam waktu dekat, semoga nanti setelah si utun lahir mamake ini bisa mengobati kerinduan motret panggung lagi.. Amiiiin.



05 August 2018

Perspektif

Tulisanku ini sudah mengendap selama 5 tahun lebih 4 bulan di kolom Draft saat sedang mengikuti tantangan "30 Hari Bercerita" yang berat dan berakhir dengan kegagalan yang telak. Tanpa merubah redaksinya, inilah tulisan yang menurutku masih sangat sesuai dengan kondisi sekarang.

-------------------- ..-------------------- ..--------------------

Well, ternyata yang namanya nulis itu nggak segampang yang dibayangkan waktu daftar 30HariBercerita akhir Desember lalu. Kalau dasarnya sedang nggak ada ide atau sekedar nggak mood nulis, yang ada setelah buka laptop malah nonton Fringe atau browsing sampai ketiduran. Contohya post ini. Sebenarnya saya sudah tulis post ini kemarin, tapi entah kenapa tiba-tiba mood nulis hilang. Malu juga sih sebenarnya sama peserta lain yang sudah dengan 'ajeg'-nya bisa posting hari ke-17 sampai hari ini.

Baiklah, mari kita mulai.


Jadi, beberapa bulan yang lalu saya diberi tau link video di Youtube yang bercerita tentang perjalanan Charlie Chaplin ke Indonesia di tahun 1932. Ia melakukan perjalanan ke Batavia, Garut, Borobudur (Magelang), Surabaya, dan Bali. Perjalanannya ke Bali adalah satu yang sangat menarik saya. 

Kenapa menarik? Sila tonton sendiri.


Sudah ketemu hal menariknya? 
Yap. Sebagaian besar wanita Bali pada masa itu bertelanjang dada. 


Hal yang menggelitik saya adalah, ketika banyak orang zaman sekarang dengan penuh percaya diri berkata bahwa masa yang mereka tinggali saat ini adalah masa yang telah beradab, namun pelecehan seksual terjadi dimana-mana. Coba kita lihat lagi video tersebut. Adakah lelaki yang melakukan tindak asusila gara-gara para wanitanya bertelanjang dada? Mencolek bagian dada, misalnya. Sedangkan kita tau Dewi Perssik pernah marah habis-habisan dengan seorang lelaki yang mencolek (atau meremas?) dadanya saat ia turun panggung beberapa tahun lalu. Dibandingkan dengan wanita Bali pada tahun 1932, Dewi Perssik saat itu terhitung berpakaian sangat lengkap.

Jika saat ini banyak terjadi tindak pemerkosaan maupun tindak asusila yang menempatkan wanita sebagai subjek kesalahan karena memakai rok pendek, sebenarnya pemikiran masa mana yang lebih beradab? Masa sekarang, atau masa lalu?

Pada dasarnya segala hal tercipta dengan nilai yang netral. Kemudian manusia lah yang memberi nilai terhadap suatu hal; baik-buruk, bagus-jelek, dan seterusnya. Nilai tersebut muncul dari perspektif atau sudut pandang setiap individu, dimana ketika mereka berkumpul dan merasa melihat suatu hal dari perspektif yang sama, maka itulah yang akan menjadi kebenaran mutlak.

Seorang karyawati memakai rok/ span untuk bekerja, pulang dengan angkutan umum, dijebak lalu diperkosa. Alasannya, karyawati tersebut mengenakan rok/ span yang mengundang syahwat. Apa iya jika karyawati tersebut mengenakan jubah ia akan bebas dari jebakan pemerkosaan? Toh pada dasarnya jebakan adalah sesuatu yang terencana dan disengaja to? Apa iya ketika kita membuka pintu rumah lalu ada pencuri masuk, lalu pencuri tersebut dinyatakan tidak bersalah?

Porno-tidak porno, menggugah syahwat atau tidak, itu semua pada dasarnya tergantung bagaimana otak kita menanggapi rangsangan visual yang ada. Semua tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.

-------------------- ..-------------------- ..--------------------

Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, rasanya masih sangat berkaitan dan bahkan menurutku lebih memprihatinkan. Sudah dengar tentang kasus pemerkosaan remaja perempuan oleh kakak kandungnya sendiri dan malah divonis pidana karena melakukan aborsi? Berarti, remaja perempuan usia 15 tahun itu sebetulnya dipaksa untuk harus menerima kehamilan yang bahkan bukan keingannya, bagaimanapun hasil perkawinan inses itu (ada kelainan atau tidak), tanpa mempedulikan mental si perempuan yang sudah pasti hancur karena pemerkosanya adalah kakak kandungnya sendiri. Miris! (Bisa baca beritanya di sini dan pembahasan lebih dalamnya di sini)

Perempuan selalu menjadi korban atas pelecehan seksual dan tidak jarang perempuan selalu diam, memilih untuk tidak melawan. Unsur keselamatan dan nyawa jadi taruhannya. Lihat saja video tentang perempuan di Perancis yang diserang balik oleh 'catcaller' gara-gara melawan. Beruntungnya, pemerintah Perancis langsung menerapkan denda dengan nominal besar bagi pelaku pelecehan di jalanan. (Aku baca beritanya di sini)

Pemerintah terus-terusan memblokir situs dan aplikasi gawai yang berkonten pornografi. Lembaga Sensor juga tak henti menyensor belahan payudara dan adegan percintaan di tayangan film dan TV. Lalu apalagi? Tentu yang perlu diperbaiki adalah pola pikir manusianya. Di sini peran keluarga sebagai tempat pertama seseorang menuntut ilmu menjadi sangat penting. Dan itu juga lah yang menjadi PR untuk aku dan suami kelak. Semoga kita semua bisa ikut memperbaiki pola pikir penerus kita.