Selama bertahun-tahun, yang kutahu Pintu Terlarang adalah film karya Joko Anwar. Baru sekitar dua bulan lalu, seperti biasa di toko buku langganan, mataku terpaku pada novel berjudul sama. Anehnya, buku ini bukan karangan Joko Anwar namun karya Sekar Ayu Asmara. Novel ini ternyata pertama diterbitkan di tahun 2004, dan baru lima tahun kemudian difilmkan oleh Joko Anwar. Filmnya sendiri belum pernah kutonton karena susah banget carinya dan setahuku memang hanya diputar saat festival-festival.
Novel ini bergenre thriller dan bercerita seseorang yang mengidap Schizophrenia akibat penyiksaan-penyiksaan dari orang tuanya yang dialami sejak kecil, atau bisa kita sebut dengan "child abuse" atau "domestic violence". Cerita berawal dari gambaran kekerasan kepada anak kecil itu sendiri yang benar-benar biadab. Cukup kaget karena ini bukan awal cerita yang nyaman, sebetulnya. Namun di bab kedua dan seterusnya, kita lebih banyak diajak berjalan-jalan ke kehidupan pematung tenar bernama Gambir yang hidupnya serbasempurna bersama istri dan belahan jiwanya, Talyda. Cerita Gambir dan Talyda disisipi cerita Ranti, seorang jurnalis yang tulisan-tulisannya lebih banyak mengangkat sisi kemanusiaan.
Sampai 7/8 buku ini bahkan aku masih nggak bisa menebak akhir dari cerita ini seperti apa. Sudut pandang pencerita yang berganti-ganti awalnya membingungkan, namun memasuki bab ketiga-keempat aku sudah mulai terbiasa dan malah membuatku makin penasaran di bagian mana yang bersisian antara si anak Schizophrenia, Gambir-Talyda, dan Ranti.
Di banyak bagian terdapat kalimat dan paragraf yang diulang, terutama pada cerita milik anak Schizophrenia, Gambir, dan Talyda. Kalimat-kalimat itu mungkin bagi beberapa orang akan mengganggu, tapi bagiku malah seperti penekanan atas suatu peristiwa atau perasaan yang menggambarkan lubuk hati terdalam para tokoh dan cenderung seperti narasi pembicaraan para tokoh dalam hati. Di sisi lain, penamaan lokasi yang fiksi dicampur dengan merek-merek ternama yang fakta membuatku sedikit terganggu. Tapi yah, mungkin itulah yang namanya novel fiksi dan aku harus baca lebih banyak lagi supaya dapat lebih banyak referensi dan bisa menilai lebih obyektif. Secara keseluruhan, novel ini memiliki bahasa yang mudah dicerna, alur cerita yang membuat penasaran, plot twist yang tak terduga serta sentuhan "gore" yang belum lazim diangkat novel lain.
Ngomong-ngomong, dengan novel ini aku resmi memecahkan rekor membacaku. Yang sebelumnya aku membaca Saman dalam waktu 24 jam, kali ini aku hanya menghabiskan waktu 12 jam dengan jumlah halaman yang hampir sama. Yeaaaah!
No comments:
Post a Comment