29 July 2018

Pintu Terlarang - Sekar Ayu Asmara

Selama bertahun-tahun, yang kutahu Pintu Terlarang adalah film karya Joko Anwar. Baru sekitar dua bulan lalu, seperti biasa di toko buku langganan, mataku terpaku pada novel berjudul sama. Anehnya, buku ini bukan karangan Joko Anwar namun karya Sekar Ayu Asmara. Novel ini ternyata pertama diterbitkan di tahun 2004, dan baru lima tahun kemudian difilmkan oleh Joko Anwar. Filmnya sendiri belum pernah kutonton karena susah banget carinya dan setahuku memang hanya diputar saat festival-festival.


Novel ini bergenre thriller dan bercerita seseorang yang mengidap Schizophrenia akibat penyiksaan-penyiksaan dari orang tuanya yang dialami sejak kecil, atau bisa kita sebut dengan "child abuse" atau "domestic violence". Cerita berawal dari gambaran kekerasan kepada anak kecil itu sendiri yang benar-benar biadab. Cukup kaget karena ini bukan awal cerita yang nyaman, sebetulnya. Namun di bab kedua dan seterusnya, kita lebih banyak diajak berjalan-jalan ke kehidupan pematung tenar bernama Gambir yang hidupnya serbasempurna bersama istri dan belahan jiwanya, Talyda. Cerita Gambir dan Talyda disisipi cerita Ranti, seorang jurnalis yang tulisan-tulisannya lebih banyak mengangkat sisi kemanusiaan.

Sampai 7/8 buku ini bahkan aku masih nggak bisa menebak akhir dari cerita ini seperti apa. Sudut pandang pencerita yang berganti-ganti awalnya membingungkan, namun memasuki bab ketiga-keempat aku sudah mulai terbiasa dan malah membuatku makin penasaran di bagian mana yang bersisian antara si anak Schizophrenia, Gambir-Talyda, dan Ranti. 

Di banyak bagian terdapat kalimat dan paragraf yang diulang, terutama pada cerita milik anak Schizophrenia, Gambir, dan Talyda. Kalimat-kalimat itu mungkin bagi beberapa orang akan mengganggu, tapi bagiku malah seperti penekanan atas suatu peristiwa atau perasaan yang menggambarkan lubuk hati terdalam para tokoh dan cenderung seperti narasi pembicaraan para tokoh dalam hati. Di sisi lain, penamaan lokasi yang fiksi dicampur dengan merek-merek ternama yang fakta membuatku sedikit terganggu. Tapi yah, mungkin itulah yang namanya novel fiksi dan aku harus baca lebih banyak lagi supaya dapat lebih banyak referensi dan bisa menilai lebih obyektif. Secara keseluruhan, novel ini memiliki bahasa yang mudah dicerna, alur cerita yang membuat penasaran, plot twist yang tak terduga serta sentuhan "gore" yang belum lazim diangkat novel lain.

Ngomong-ngomong, dengan novel ini aku resmi memecahkan rekor membacaku. Yang sebelumnya aku membaca Saman dalam waktu 24 jam, kali ini aku hanya menghabiskan waktu 12 jam dengan jumlah halaman yang hampir sama. Yeaaaah!







16 July 2018

Letter for You (part 2)

Hello, My Dear..

How are you there?
I always curious on what you're up to. I hope you're doing fine.

It's almost three months we've been together and you're such a very very kindhearted creature, even long before you're appearance in this real world. So far, you never burden me though I have less time to rest. It's like you're always support my activities, especially this last one week when I've got to come to the night lectures five days in a week. You also support me to eat anything.. literally ANYTHING, by not letting me get any bad nausea.

I'm sure you're gonna be a strong and independent one in the future. You'll be able to stand on your own and not letting anyone get you down. It's a great start for us, and especially for you.


Mom loves you, Honey..


15 July 2018

Kado Iseng-iseng

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 11 Juli 2018, salah satu sobat misqueenqu, Nadiah, berulang tahun. Nah, karena merasa belum kasih kado yang proper, akhirnya kemarin aku iseng-iseng ngelukis doi. Yaaa ini juga bukan kado yang proper juga sih ya sebetulnya, yang penting sudah bikin sesuatu yang otentik asli bikinan tanganku dan yang jelas ngga bisa ditemukan dimana pun. #sobatmisqueenlagingeles HAHAA



Nadiah adalah salah satu anggota tim di unit yang baru kurang lebih delapan bulan ini aku singgahi. Ngga tau kenapa, sejak hari-hari pertama ditempatkan di sana, rasanya cocok dan nyambung banget ngobrol sama doi. Usut punya usut, ternyata kalau ditinjau dari segi horoscope (yang kebetulan kami berdua percaya kalo orang-orang dengan horoscope yang sama biasanya tipikal sifatnya sama), ternyata dia adalah seorang Cancerian. Cancer dan Pisces itu kebanyakan cocok, mungkin karena sama-sama "makhluk air" ya. Selain itu, dari pengalaman yang sudah-sudah, aku pun punya beberapa sahabat yang berbintang Cancer dan cocok dari berbagai sisi, misal sama-sama mellow-an, perasa, dan mikiran. Jadi yaa makin klop deh temenan sama Cancer cabang Balongsari satu ini.

Lebih dari itu, Nadiah adalah orang yang loyal, gercep abis kalau dimintain tolong, dan sebetulnya ceria kok meskipun di awal-awal pertemuan agak malu-malu ala anak introvert gitu hihihi. Dari yang cuma cerita-cerita tentang hobi dan interest, makin kesini makin ngobrolin tentang kehidupan. Mulai cerita receh-receh, sampai cerita yang dalem banget bagai sumur bor. Di kantor ketemu dan cerita-cerita, pas sudah pulang juga kadang masih lanjut lewat WA. Mulai saling menghina, sampai saling mengingatkan. #sisterfillah WKWK

Akhir kata, nggak afdol rasanya kalau nggak diakhiri dengan doa. So, Deedee, semoga ente selalu diliputi kebahagiaan dan keceriaan, dijauhkan dari kegalauan (becoz anxienty kills), dijauhkan dari hawa-hawa negatif (ini doa buat kita berempat sih #eh), makin kreatif (dengan laptop baru #eaa), sekeluarga selalu dalam lindungan Allah SWT, dan selalu ikhlas menerima segala kelebihanku (kelebihan berat badan, kelebihan waktu nganggur ngisengin ente, dan lain sebagainya).

Once again, happy birthday Deedee! 
Salam kompersa! Salam kompak persahabatan. *brofist*







08 July 2018

Review Film Ala-ala: Hereditary

Ini baru pertama kalinya aku bahas di blog tentang film yang pernah aku tonton. Pada dasarnya aku bukan movie freak, tapi memang untuk genre horor (kecuali Anabelle karena ngga bisa nonton yang boneka-boneka gitu, pasti kebawa mimpi sampai waktu yang lama) aku hampir tidak pernah melewatkan. Meskipun sebetulnya aku penakut, tapi rasanya seru aja adrenalin dipacu selama di bioskop. Kadang deg-degannya malah terbawa sampai pulang, yang bahkan nggak berani matiin lampu waktu tidur. Hihihi

Jadi akhir minggu lalu, aku nonton Hereditary di CGV. Penasaran banget karena dari jauh-jauh hari sudah banyak yang menggadang-gadang kalau film ini lain daripada film horor manapun yang pernah ada. Ditambah lagi, Joko Anwar bolak-balik merekomendasikan film ini melalui cuitannya di twitter. Makin penasaran, dong. Sutradara film horor Indonesia terbaik di zaman ini aja sampai seintens itu promosiin Hereditary. (Tapi guys, percayalah. Kayaknya ada udang di balik batu alias ada maksud di balik kegetolan Jokan promosiin Hereditary. Menurut aku sih.. )

Hereditary pada dasarnya adalah cerita keluarga yang runyam bin rumit. Pada review ala-ala ini, izinkanlah pertama-tama aku membedah satu per satu karakter yang ada di film. Si Nenek yang baru saja meninggal, ternyata berkepribadian ganda (kalau nggak salah ingat ya), sulit ditebak maunya apa, introvert, penuh rahasia dan...... klenik. Setelah meninggal, si Nenek pun menyisakan misteri buat keluarganya. Misteri itu mulai “dilihat” oleh cucu perempuan kesayangannga, Charlie, yang baru berusia sekitar 13 tahun. Karena dia adalah yang paling dekat dengan Nenek, maka “sosok” Nenek pertama kali menampakkan diri di hadapannya plus kasih petunjuk ini-itu. Charlie ini karakternya kuat banget. Doi digambarkan sebagai sosok yang introvert juga, suka menggambar, asik dengan dunianya sendiri dan cenderung aneh untuk anak seusianya. Doi juga suka menghabiskan waktu di rumah pohon yang ada di depan rumahnya, bahkan dia kayaknya lebih nyaman tidur di sana. Terbukti dengan adanya mesin pemanas yang sudah disiapkan di dalamnya.

Berbeda dari Charlie, Peter sang Kakak, adalah tipikal cowok SMA yang lebih extrovert, banyak teman, dan lagi dalam pencarian jati diri di luar rumah; party, main terus, bahkan nyimeng. Dari seluruh anggota keluarga, menurutku si Peter ini yang paling normal. Seharusnya.

Beranjak ke orang tua Charlie dan Peter, yang tidak lain tidak bukan adalah anak perempuan Nenek, Annie, merupakan pembuat miniatur bangunan dan seisinya (bagus banget karyanya sumpah deh) yang sedang dikejar deadline dari sebuah galeri seni. Dia adalah tokoh sentral dalam film ini. Akting Toni Collete sebagai Annie patut diberi penghargaan sih kalau menurutku. Dia bisa memerankan tokoh yang sangat kompleks, emosional, rapuh, memiliki gangguan kesehatan mental, yang sedikit banyak terpengaruh dari si Nenek. Contoh kecilnya nih ya, waktu Charlie lahir, si Nenek ngotot pingin nyusuin doooong saking posesifnya sama Charlie. Apa nggak stress tuh si Annie?! T_T

Nah, dalam film ini suami Annie, Steve, bagai oase di tengah padang tandus. Alias sosok yang paling kalem dan sabar dalam menghadapi “kegilaan” istrinya. Terlebih lagi habis kecelakaan tragis yang menewaskan Charlie. Seberapa tragis? Tragis banget lah pokoknya sampe bikin Annie jejeritan nggak karuan dan Peter stress minta ampun. Cuma sayangnya Pak Steve ini kurang tegas sebagai sosok bapak. Ya mungkin karena nggak mau nyakitin istrinya juga sih ya. Atau emang bawaannya terlalu calm and cool? 

Sebetulnya film ini bagus banget banget banget. Bukan tipe film horor yang sedikit-sedikit bikin kaget, tapi kita dipaksa selama kira-kira 1,5 jam pertama untuk mendalami karakter dan problem yang ada di keluarga itu secara pelan-pelan. Alurnya lambat memang, tapi justru itu yang membuat kita makin iba sama kondisi keluarga Pak Steve. Semacam, satu masalah belum tuntas, eh ada lagi masalah lain yang benar-benar menguras emosi dan energi.

Nah, kira-kira si setengah jam terakhir baru lah terungkap kenapa keluarga Pak Steve bagaikan kena kutukan yang tidak berkesudahan. Kurang lebih yaaa karena si Nenek semasa hidupnya ikutan sekte pemuja iblis dan bahkan ditahbiskan sebagai RATU! Iya aku nulisnya pake huruf kapital karena YA AMPUN NEK, ente jadi Ratu tapi ngorbanin anak cucuuu.. Yang bener-bener aja kek Nek. Huhuuu.. :(( Daaaan lebih parahnya lagi, si Nenek ternyata menumbalkan Peter untuk jadi “inangnya” roh Raja Paimon (namanya nggak kece sih tapi beneran ada di mitologi sebagai pengikut Iblis Lucifer yang paling setia). Di akhir cerita, sosok Peter lah yang akhirnya dipuja dan disembah para pengikut sekte itu yang cara memujanya tuh harus dengan bertelanjang bulat dan bahkan anggota keluarga Pak Steve yang sudah meninggal pun turut dihadirkan dengan..... Tanpa kepala. Iya, kalau disimak memang clue dari awal cerita adalah.... kepala..... yang putus. :|

Yang membuat nilai Hereditary agak minus di mataku adalah scene waktu sosok Annie yang tanpa kepala terbang naik menuju ke rumah pohon. Ini bagian yang paling malesin banget sih, bikin langsung keinget film-film Tante Suzana waktu ada putih-putih melayang gituu. Hahhhhh -_- Jadi awalnya Annie (tampaknya) kesurupan, berusaha mengejar dan membunuh Peter, lalu memotong kepalanya sendiri pakai benang (males banget bayanginnya waktu nulis ini), setelah itu dia berusaha kasih petunjuk ke Peter yang linglung habis jatuh ke taman dari loteng lantai 2 untuk ikutan masuk ke rumah pohon dengan cara melayang tanpa kepala. Itu aja sih scene yang bikin “drop shaaay”. Karena harusnya tanpa scene kayak gitu pun, Hereditary sudah mencekam dengan caranya sendiri. Oiya, selain itu durasi yang panjang (sekitar 2 jam) untuk film horor sih menurut aku kelamaan. Backsound yang terasa mengganggu di awal lama-lama sudah nggak terasa seram lagi dan yah, capek aja 2 jam dibikin penasaran (akutu ngga bisa diginiin orangnya:( ) Overall, Hereditary aku kasih nilai 7,75/10. Eh, 8 ding. Soalnya sinematografinya keren banget!

Well, segitu dulu “review ala-ala” kali ini. Kalau ada niat film yang menurut aku oke, kapan-kapan aku tulus lagi dan sekalian bikin tag sendiri tentang film. Hahaha. See you!