13 January 2018

Sate Klathak Pangestu (review)

Masih dari liburan tahun baru di Jogja 2 minggu lalu, sepulang sarapan di Cengkir Heritage Coffee and Resto, kami sekeluarga randomly main ke Museum Gunung Merapi. Ternyata di jalan masuk yang sama dengan museum, ada tempat wisata yang lumayan baru yaitu Merapi Park - The World Landmark. Selain karena aku dan keluarga ngga suka selfie, kondisi yang super duper ramai saat libur tahun baru bukan waktu yang tepat untuk kita-kita yang ingin mampir karena sekedar ingin tahu.

Museum Gunung Merapi sendiri terhitung sangat lengkap. Ada ruang pamer khusus yang menampilka dapur dan beranda rumah yang terdampak letusan Gn. Merapi tahun 2010 yang dimuseumkan (lengkap dengan debu-debunya), ada informasi tentang gunung berapi di Indonesia dan dunia yang disertai peraga, infografis tentang edukasi bahaya erupsi dan cara menghindarinya, sampai informasi tentang becana lain seperti gempa bumi dan tsunami. Kalau belum puas dengan informasi-informasi yang ditampilkan, bisa juga nonton film dokumenter berdurasi sekitar 15-20 menit berjudul Mahaguru Merapi yang diputar di ruang audiovisual. Tiket masuk museum dan nonton filmnya murah, masing-masing hanya IDR 5.000 untuk wisatawan domestik dan IDR 10.000 untuk wisatawan mancanegara. Meskipun lengkap, namun sayang sekali museum ini kurang terawat. Plafonnya banyak yang jebol, beberapa bagian tembok lembab, lantainya tampak kurang kinclong, dan beberapa peraga tidak berfungsi.






Kami keliling museum sampai sekitaran jam makan siang. Sempat bingung juga mau makan dimana saat Jogja sedang ramai-ramainya. Entah mendapat ilham darimana, saya googling "sate klathak" dan diarahkan ke Sate Klathak Pangestu di Jalan Damai yang letaknya ngga jauh dari Museum Gunung Merapi. Wah, baru tau nih kalau ada sate klathak yang ngga berlokasi di Imogiri.


Saya sekeluarga pesan sate klathak, sate biasa, tongseng kepala dan tongseng daging. Sate klathaknya sendiri menurut saya rasanya pas sekali: gurih asinnya pas, tingkat kematangannya pas, tidak alot, dan tentunya tidak 'prengus'. Meski disajikan dengan kuah, saya lebih suka makan sate klathak dengan kuah tongseng. Setiap meja juga diberi satu piring kecap plus bawang merah. Jadi waktu nasi, daging, kuah tongseng, kecap, dan bawang merah bercampur.... Hmm, 'nendang' banget deh!





Dalam kondisi ramai, pelayanan team sate khas daerah Imogiri ini relatif cepat. Yang pertama datang, pasti minumnya dulu. Di sini penyajian minumannya juga unik. Di warung-warung lain biasanya kita hanya akan diberi segelas minuman sesuai pesanan. Kalau di sini, disediakan 1 teko kecil untuk tambahan. Tekonya pun unik, teko blirik khas jaman dulu. Gemas!



Biasanya, setelah puas dan kenyang menikmati makanan enak kita akan ngobrol-ngobrol dulu sambil (kalau saya menyebutnya) 'nurunin perut'. Di Sate Klathak Pangestu ini, jangan harap bisa bersantai ria seperti itu. Kursi dan mejanya terbatas, kalau saya ingat-ingat mungkin hanya ada sekitar 5 meja besar yang masing-masing mejanya terdiri dari kursi yang cukup untuk 4-6 orang. So, kalau lagi ramai, sudah pasti ada pelanggan selanjutnya yang sudah standby di sebelah meja kita.



Would you recommend this place to others?YES!

Would you revisit?Of course!!

How do you rate this place?5/5, the best in town!


Ciao!

No comments:

Post a Comment