20 January 2018

Bromo, from first-timer perspective

... who climbed the hill too early, shivered by the mountain wind, back to the car, fell asleep, ended up too tired to wake up at sunrise, and no jeep-adventuring at all.

02a10dae-4484-4efe-9c76-de951ebb5e61

Sejak memasuki jalanan area Bromo di malam hari, mobil kami sempat beberapa kali diberhentikan oleh segerombolan (yang sepertinya, sih) penduduk sekitar. Mereka semua mencoba menawarkan sewa Jeep. Karena waktu itu adalah kali kesekian Rizal naik Bromo, kami memutuskan untuk jalan terus dan tidak menghiraukan tawaran-tawaran itu.

Di salah satu gerombolan, ternyata bukan cuma Jeep saja yang ditawarkan. Salah satu dari mereka menawarkan diri untuk menjadi guide sampai ke bukit tempat menyaksikan matahari terbit dengan biaya sekitar IDR 250ribu. Tentu saja, kami tidak menghiraukannya. Mantra kami hanya "in Google Maps we trust", di samping memang Rizal sempat beberapa kali ke sana dan yakin kalau bukit yang dimaksud sebetulnya tidak jauh-jauh amat.




Sampai akhirnya, ada satu orang bermotor trail "lepas" dari gerombolan dan mengikuti kami. Suasana jalan yang gelap dan berkelok-kelok membuat suasana malam itu agak menegangkan ditambah lagi motor itu terus menerus berada di depan mobil kami. Dengan percaya diri, kami tetap stick to the Google Maps dan cuek dengan keberadaanya. Tapi memang ngga dipungkiri, saya sempat insecure juga. Ini orang maksudnya baik atau jahat sih? Ya siapa yang ngga insecure, gelap-gelap diikuti orang yang ngga kelihatan mukanya gimana, cuma kelihatan sepatunya sepatu gunung, jaket tebal bersyal, yang intinya dia kelihatan sangar.

“In Google Maps we trust. But first, we need an accurate navigator

Ya, di salah satu persimpangan, saya ragu (semacam salah baca peta, hehe). Rizal pun ragu. Itu yang membuat kami akhirnya terpaksa berhenti dan melayani arahan si orang ber-trail untuk jalan terus sampai ke tempat yang dia sebut Rest Area.

Di Rest Area, mobil kami ternyata sudah ditunggunya. Wah, jangan-jangan preman nih, dalam hatiku. Rizal turun dan bernegosiasi. Saya di dalam mobil, lama-lama penasaran juga. Keluarlah saya. Dan ternyata, si orang ber-trail ini masih bocah!


Rizal dan (sebut saja) si Mas Bromo, bernegosiasi tentang sewa Jeep. Mas Bromo, setengah memaksa, bahwa dari Rest Area sudah harus naik Jeep, sementara Rizal keukeuh bahwa mobil bisa kami kendarai sampai di kaki bukit Sunrise Point. Posisi si Mas Bromo sudah inferior sekarang, karena mungkin memang tidak ada aturan tertulis tentang kewajiban naik Jeep kecuali kalau kita mau main di Lautan Pasir alias Pasir Berbisik. Si Mas Bromo mondar-mandir semacam bertanya ke senior di sana dan kembali dengan nada bicara ragu dan mengatakan bahwa mobil tidak bisa naik. Rizal menawar agar kami bisa menyewa motor trail-nya. Lumayan kan, itung-itung bisa jadi properti foto nih, apalagi motornya masih mulus dan kece banget. “Eh, nganu Mas. Kalau motornya disewa, nggak bisa Mas,” kata si Mas Bromo, “soalnya pagi-pagi motornya mau dibuat ngarit, Mas..” kali ini nadanya benar-benar nada memelas dari bocah polos.


Haduh, rasanya kalau ingat jadi pengen ketawa. Dari awalnya saya sempat takut, khawatir kalau orang ini preman, eh ternyata masih ABG dan polos bangeeeet.

Long story short, kami setuju membayar si Mas Bromo IDR 150ribu untuk mengawal kami sampai kaki bukit Sunrise Point dengan pesan, kalau ada yang tanya mau naik atau tidak kami jawab bahwa kami mau balik ke Malang. Ok, deal.



Sampai di kaki bukit, kami ditawari jelajah Bromo naik Jeep dengan paket Sunrise Point, Penanjakan, Lautan Pasir, dan Bukit Teletubbies seharga IDR 700ribu. Karena posisi kami sudah dibawah Sunrise Point, terjadilah tawar-menawar lagi dan akhirnya deal di harga IDR 450ribu. “Tapi saya izin ke tamu yang satunya dulu ya, Mas. Takutnya mereka nggak mau kalau bareng-bareng,” kata penyewa sekaligus supir Jeep-nya. Yassalam.

Setelah dikonfirmasi, benar saja. Tamu awal supir itu tidak berkenan dibarengi kami. Ya sudah, kami DP saja IDR 50rb dan bertukar nomor hp meskipun kami pesimis bisa saling contact karena kendala sinyal. Kami dijanjikan untuk mulai tour jam 08.30, yang berakhir kami beranjak dari Sunrise Point sekitar jam 06.30 karena mulai bosan dan lapar. Tour dengan Jeep akhirnya batal.



Kami pun sebetulnya melewatkan detik-detik sunrise. Perjalanan sekitar 3-4 jam dari Surabaya after-office membuat stamina kami tidak terlalu maksimal. Meski sempat naik ke puncak bukit sekitar jam 3:30 dan mendapat spot yang paling “pewe” untuk melihat sunrise, tapi angin gunung yang super dingin waktu itu membuat saya menggigil luar biasa. Akhirnya saya mengajak Rizal untuk menghangatkan diri di dalam mobil dengan selimut yang sudah kami bawa. Pukul 05.00 alarm berbunyi. Saya lihat, Rizal masih terlelap karena lelah menyetir dan bermacet-macetan. Sampai akhirnya, sekitar pukul 06.00 ada orang yang mengetuk jendela mobil kami. Wow, ternyata supir Jeep yang tadi! Beliau pamit mengantar tamunya dan janji untuk menjemput kami jam 08.30. Percakapan dengan Bapak Supir Jeep membuat kami sadar bahwa orang-orang sudah mulai turun dari bukit yang berarti… Sunrise sudah selesai. Hahaha


Ini kali pertama saya main ke Bromo. Kalau boleh membandingkan dengan Ijen, pengelola wisatanya sepertinya sih, lebih tertata di Ijen terutama masalah sewa-menyewa Jeep. Entah apa yang membuat kebijakannya berbeda (misalnya kondisi pengelolaan keuangan daerah/desa, kondisi komunitas pariwisatanya, kondisi alamnya), tapi pemerintah daerah Banyuwangi berhasil menertibkan orang-orang yang sering memberhentikan wisatawan di tengah jalan dan memaksa mereka untuk sewa Jeep. Seharusnya kalau memang belum bisa menertibkan orang-orang yang memberhentikan wisatawan seperti itu, pengelola kawasan wisata Bromo paling tidak harus bisa menetapkan biaya yang seragam untuk sewa Jeep dan memberikan pos khusus persewaan Jeep sekaligus sebagai tempat parkir mobil pribadi. Untuk harga, menurut saya sih kalau lebih mahal saat weekend atau hari libur itu wajar. Toh, kita nonton film di bioskop juga harus bayar lebih mahal di waktu-waktu itu.



Meski bangun kesiangan dan melewatkan sunrise, kami sama sekali tidak menyesal. Hikmahnya, kami tidak perlu berdesak-desakan dan berebut tempat dengan ratusan bahkan ribuan orang di Sunrise Point. Karena menurut saya, Bromo mau dilihat dari sisi mana pun, akan tetap terlihat gagah namun cantik dengan segala eksotikanya.

Karena masih belum main di Lautan Pasir, maka saya ucapkan..

See you later, Bromo!


Sign_small

2 comments: