Proposal skripsi berhasil dikebut selama semalam suntuk. Bagai Bandung Bondowoso modern, kemarin malam saya mengandalkan soft skill berupa menulis ditengah tingginya adrenalin menghadapi garis mati. Cukup salut pada diri sendiri yang berhasil menulis berlembar-lembar dalam hanya waktu satu malam, sekaligus sangat mengutuk kebiasaan menjadi deadliner yang idenya baru muncul saat kepepet.
Dan percayalah. Menjadi deadliner itu, meskipun awalnya seru tapi lama kelamaan cukup menyiksa juga rasanya. Kamu bertaruh dengan nasibmu sendiri. Merasa percaya diri bahwa pekerjaan yang ada bisa diselesaikan dalam waktu satu hari yang terdiri dari 24 jam. Namun jika ada kesalahan yang membuat kamu melewati garis mati itu, melewati batas 24 jam yang kamu banggakan, kamu akan benar-benar mati dengan penuh penyesalan pada akhirnya.
Jadi, hasil saya bolos nulis 2 hari adalah.... Bingung harus menulis apa. Enam hari kemarin agaknya saya cukup lancar dan sudah mulai terbiasa menulis agak panjang. Dan seperti kata pepatah, The first step is always the hardest part. Termasuk salah satunya kembali menulis.
Waktu mulai menulis, saya terbayang-bayang suasana Pelalawan, Riau tempat saya tinggal sebulan untuk KKN Juli-Agustus lalu. Saat tidak ada kegiatan, siang hari tanpa listrik disana dihabiskan dengan sekedar tidur-tiduran atau bahkan tidur betulan di lantai ruang tamu dengan pintu terbuka, dengan angin membawa udara kering dataran Sungai Kampar, ditemani suara-suara perahu motor lalu lalang, suara tongkang melintas membawa berton-ton kayu ke perusahaan pulp 2-3 kali di siang hari, kadang suara anak-anak bermain, berlari-larian di rumah panggung beralas kayu yang getarannya membuat kami terpaksa harus kembali bangun ke dunia nyata. Rasanya lucu juga mendengar percakapan anak-anak dengan bahasa lokal saat mereka bermain. Seperti sedang menonton Upin Ipin secara langsung.
Dan inilah anak yang paling saya rindukan. Rengekannya, celotehnya, keisengannya, hobinya membantu (atau lebih tepatnya mengganggu) anak-anak KKN yang sedang memasak di dapur, kemanjaannya yang makin menjadi menjelang kepulangan kami. Fandi, namanya. Anak yang sejauh kami KKN menjadi anak bontot nan manja dari keluarga tempat kami menumpang hidup. Beberapa hari setelah kami pulang, adik Fandi lahir. Semoga kamu bisa jadi kakak yang baik ya, Fan.
Selama kami di sana, sebagian besar anak-anak sedang gemar-gemarnya menonton sinetron Aladin setiap sore sekitar maghrib, tepat setelah listrik mulai mengalir ke desa. Selama sebulan, setiap sore, melihat mereka menonton sinetron yang sama membuat kami otomatis hafal soundtrack-nya. Ditambah lagi tidak jarang Fandi bernanyi-nyanyi setelah sinetron selesai. "Aku.. Si Aladin. Punya lampu wasiat. Digosok-gosok, dielus-elus, bisa bikin orang heraaaan.." Saya masih hafal sampai sekarang.
Sekarang kalian lagi suka nonton apa ya?
omg bon. baca tulisanmu ini bikin aku kangen sama mereka. sama pelalawan. :(
ReplyDeleteSama pir.. Aku jadi kepikiran pingin main2 kesana, liat itu anak2 udah segede apa.. :')
Delete