Akhirnya setelah ditunda beberapa hari, hari ini saya akan cerita tentang album yang baru-baru ini saya beli dengan alasan satu-satunya: "artwork-nya menarik". Waktu itu, sekitar tengah Desember, saya pergi ke Jakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan anak teman orang tua saya. Sabtu siang, untuk mengisi waktu luang sembari menunggu resepsi di malam hari, saya mengunjungi tempat yang cukup wajib dikunjungi setiap saya ke Jakarta; lantai dasar Blok M Plaza. Di sana terdapat beberapa lapak (kalau tidak salah hitung ada 2 atau 3) yang menjual kaset-kaset lawas, piringan hitam, CD second dan beberapa CD baru.
Setelah melakukan pertapaan yang cukup lama alias melihat-lihat satu CD ke CD lain, mengagumi satu per satu artwork CD yang unik-unik, membolak-balik banyak wadah untuk memastikan saya tahu beberapa lagu yang ada di CD-CD tersebut, akhirnya mata saya 'kecantol' album Marcel Thee satu ini. Saya tertarik dengan lukisan (atau foto?) pegunungan yang menjulang beserta refleksi pada danau di depannya. Saya sempat berpikir mungkin ini gambaran pegunungan es di Norway atau New Zealand yang sering saya lihat di internet atau televisi. Bedanya, gambaran yang selama ini saya lihat berlangit biru cerah dengan awan-awan putih yang terekam manis sedangkan di CD ini background pegunungan dengan sederhana dibuat hitam pekat. Dari sana, saya jadi bisa mengira-ngira kalau lagu di dalamanya bernuansa 'gelap'.
Benar saja. Sepulang saya dari resepsi, saya langsung mendengarkan beberapa CD yang saya beli di Blok M Plaza, termasuk CD Marcel Thee. Saya masih ingat betul perasaan saya waktu mendengar lagu Endless Heart yang ditempatkan menjadi lagu pertama di album With Strong Hounds Three ini. Saya belum tahu siapa Marcel Thee, saya tidak tahu lirik lagunya bercerita tentang apa, tapi kesederhanaan melodi yang diciptakan pada lagu ini membawa ketenangan tersendiri meskipun (sesuai dugaan saya) kesan 'gelap' lagu ini sangat kental. Lagu pertama didominasi oleh iringan organ dan vokal yang didistorsi.
Sambil mendengarkan CD ini, saya browsing siapa Marcel Thee itu. Dan oooh.. Ternyata proyek pribadi vokalis Sajama Tree ini merupakan album lo-fi yang sarat akan nilai-nilai relijius. Dan lagi-lagi "benar saja", di kolom genre iTunes muncul tulisan religious yang baru saya sadari kemudian. Beberapa lagu, selain didistorsi, suara vokal dibuat menjadi semacam koor yang makin membangun suasana gereja di kepala kita.
Di beberapa lagu setelah Endless Heart, iringan organ digantikan dengan gitar hingga pada lagu kelima suara organ muncul kembali yaitu pada lagu Date With Curmudgeon. Berbeda dengan Endless Heart yang lebih clean, suara organ dengan nuansa ambient di lagu ini terasa sangat kental. Nuansa ambient di lagu kesembilan, Kensingtone Runston, pun tak kalah kentalnya dan membuat saya serasa dibawa berjalan-jalan, masuk ke gereja-gereja kuno di kawasan Eropa dengan ranting-ranting pohon di luarnya yang mulai gundul di musim gugur yang dingin.
Sebuah lagu yang menurut saya cukup "lucu" adalah Biblical Summer, dimana Marcel bermain dengan nada yang cukup ceria dengan organ dan gitar, menceritakan tentang kehidupan Jesus muda di Bethlehem dengan lirik yang cukup menggelitik: "Oh, we played in Bethlehem. Where Jesus hung out and played games with his friends and smoke pot."
Marcel Thee menurut saya bisa dengan cerdas membungkus kerelijiusan dengan cara yang tidak biasa, menyanjung dan memberi persembahan untuk Tuhannya dengan cara yang segar, dan tentunya dengan caranya sendiri. Sama seperti seorang yang dengan kreatifitasnya menciptakan lagu cinta untuk sang Pacar. Tanpa menggunakan lirik menye-menye, pesan yang tersampaikan tetap jelas; dia cinta pacarnya.
No comments:
Post a Comment