04 March 2018

Surga Kecil(ku) di Kota yang Supersibuk

Masih ingat nggak kapan terakhir beli CD (atau kaset) di toko musik?

Jauh sebelum Raisa-Hamish menikah, akhir tahun 2015 lalu bisa jadi hari patah hati seluruh pecinta musik Indonesia. Disc Tarra, raksasa ritel musik Indonesia, akhirnya memutuskan gulung tikar. Sedih banget, man! Memang sih, beberapa waktu sebelum Disc Tarra benar-benar berhenti beroperasi banyak bermunculan cara-cara out of the box dalam pendistribusian album musik. Salah satu cara distribusi yang paling gencar saat itu dilakukan oleh resto waralaba dengan sistem bundling paket makanan dengan CD. Selain itu, toko-toko CD independen pun banyak bermunculan. Pernah masuk distro yang sekaligus berjualan CD-CD musisi independen (indie)? Yep, itu salah satu bentuknya. Apalagi ketika jalur indie sendiri dirasa lebih menjanjikan (sempat baca artikelnya disini), otomatis jalur distribusinya pun juga lebih bebas; bisa masuk ke toko ritel semacam Disc Tarra, pun menjajakannya lewat toko musik indie. Pada akhirnya, raksasa ritel yang kebanyakan mengandalkan distribusi album label-label besar pun satu per satu gulung tikar. 

Di akhir 2015 itu saya nggak sempat menikmati momen perpisahan dengan Disc Tarra yang kabarnya menjual banyak album dengan harga 'tiarap' (nggak cuma 'miring') karena sedang berdinas di kota kecil. Beberapa tahun hidup di sana, membuat saya agak kesulitan menghidupkan hobi mengumpulkan rilisan fisik karena ketiadaan toko musik. Selain beberapa kali sempat membeli di toko musik indie yang ada di luar kota dengan sistem online, setiap saya dinas di kota besar atau pulang ke Jogja saya menyempatkan diri untuk mampir ke toko musik seperti Disc Tarra yang memang banyak cabangnya di mall, jadi bisa sekalian cuci mata (yes, di kota tempat saya dinas pun nggak ada mal yang representatif). 

Sampai akhirnya, setelah kembali ditugaskan di kota besar, tepatnya dua hari yang lalu saya serasa melihat fatamorgana. Antara nyata dan tidak. Toko Musik Bulletin!



Untuk yang masih ingat, Bulletin ini juga salah satu perusahaan ritel musik yang cukup besar di zamannya. Hanya saja kalau menurut pengamatan saya, Disc Tarra lebih cepat memodernkan diri dan membuka cabang lebih banyak di berbagai mal di perkotaan. Tapi jangan salah, Bulletin sebetulnya sama lengkapnya dengan Disc Tarra. Bahkan kalau tidak salah ingat, saya pernah membeli album Rectoverso di Bulletin Plaza Madiun beberapa tahun yang lalu saat sulit saya temukan di beberapa Disc Tarra Jogja.


Kembali ke pertemuan saya dengan 'surga kecil' bernama Bulletin. Berawal dari ajakan beberapa teman saya untuk makan siang di Plaza Surabaya di hari Jumat, di saat kami paling tidak punya tambahan waktu setengah jam untuk istirahat. Betapa kaget dan senangnya saya, karena tidak jauh dari pintu masuk (kalau tidak salah pintu masuk sebelah timur), tiba-tiba muncul lah surga kecil itu di depan mata. Saya meminta agar sebelum pulang harus mampir ke tempat itu. Namun dikarenakan lamanya antrean di tempat makan, waktu istirahat satu setengah jam tidaklah cukup. Akhirnya kami pun mampir dengan terburu-buru. Pasti pernah kan, merasa kangen dan ingin bernostaligia atau berlama-lama ketemu? Tepat seperti itu penggambaran perasaan saya waktu itu. Di waktu yang sudah mepet, saya malah terlalu lama melihat-lihat CD satu per satu sampai akhirnya batal membeli karena salah satu dari kami harus segera balik ke kantor dan saya terlalu bingung untuk memutuskan album apa yang akan saya beli. *sigh*

Seperti rasa rindu yang belum tuntas, saya mengajak Rizal untuk kembali ke tempat itu di hari Minggu. Dengan perasaan lebih tenang, saya kembali tenggelam mengobati kerinduan akan proses melihat-lihat dan memilih-milih CD yang duduk manis di rak. Banyak CD yang sayang angkat, bolak-balik, lihat-lihat, taruh. Dan benar saja, dibalik ketenangan itu menghasilkan dua buah CD yang tersembunyi di baris-baris belakang, yang jelas tidak terlihat saat pertama kali mengunjungi Bulletin dua hari sebelumnya. 


Lintasan Waktu saya beli karena memang Danilla telah dengan setia menemani masa-masa gelap penuh kegalauan antara lanjut S2 atau bekerja formal sekitaran 2013-2014 lalu. Yes, that early 20's confusing-yet-stressful decision-making moment that apparently lead to most of my life journey. Jadi, untuk menghormati Mbak Danilla yang setia itu, saya pun dengan setia membeli albumnya yang saat itu tersembunyi di baris paling belakang meskipun sebetulnya saya sudah cukup sering menikmatinya lewat Spotify.


Nah, membeli album yang satu ini memang cukup random. Seperti biasa, saya tertarik dengan desain kemasannya. Album Hela ini sangat unik karena dibalut dengan kertas kalkir. Booklet-nya pun barbahan sama, dari kertas kalkir. Wow, sangat "rajin" jika dibandingkan musisi-musisi lain yang mendesain kemasannya dengan sederhana. Kalau penyanyinya sendiri jujur saja saya hanya lamat-lamat mengetahuinya. Sepertinya sih agak jazzy gitu, pikir saya mencoba mengingat-ingat. Tapi karena niatnya random, jadi ya nggak usah terlalu dipikir juga musiknya gimana. 

My plus one waktu pertama kali ke sana, my team mate Deedee


Nah kalau ini my real plus one yang menemani dalam suka dan duka #eh


Saking banyak dan segmented-nya musisi dibawah naungan Demajors, sampai-sampai ada dua rak khusus bertitel "Demajors"



Bapak-anak ini mengunjungi Bulletin untuk mencari VCD anak. Wah, ternyata pengunjungnya 'lumintu' juga.

Well, biar bagaimanapun toko musik satu ini harus kita pelihara kelangsungan hidupnya. Apalagi ditengah maraknya kolektor kaset dan piringan hitam yang kian menjamur. Jangan sampai kita-kita yang "hanya" kolektor CD ini jadi makin kehilangan sumber penambahan koleksi yang dapat dijangkau dengan mudah. Mengapa saya tidak beralih ke kaset atau piringan hitam yang sedang trending? Karena menurut saya CD adalah bentuk yang paling mudah dimainkan di mobil, tempat 40% waktu saya dihabiskan. Apalagi saat perjalanan jauh, tidak ada sinyal untuk ber-Spotify, pun menyetel radio. Selain itu, kita harus seimbang dalam hidup. Memainkan musik lewat digital music player iya, tapi mengumpulkan rilisan fisiknya juga iya. #bonschastheory :p

Anyway, kayaknya seru juga nih kalau kapan-kapan nulis pendapat tentang album yang baru saya beli ini. Ditunggu ya.. 




18 February 2018

Wedding tanpa Pre-Wedding

Akhir bulan nanti, aku dan Rizal akan merayakan mensiversary kami yang keenam. Kadang waktu ngobrol kami bertanya ke satu sama lain, “Kita beneran udah nikah, nih?” Karena memang rasanya prosesi pernikahan itu kayak mimpi. Kalau kita bangun rumah, berbulan-bulan atau bertahun-tahun, pasti ada wujud yang bisa kita tinggali dan nikmati sampai lama. Tapi kalau pernikahan, persiapan berbulan-bulan, akan kita nikmati hanya dalam waktu sehari dan dikenang dalam bentuk foto. Nggak kaget kalau banyak pasangan mulai mengabadikan momen pacaran mereka lewat pre-wedding photo, yang nantinya juga akan dipajang di tempat pernikahan.

Sayang seribu sayang, aku dan Rizal bukan tipikal orang yang bisa bergaya dengan luwes di depan kamera. Jadi, mengabadikan momen pacaran lewat pre-wedding photo sudah jelas dicoret dari to-do list kami. Dulu sih sempat punya keinginan difotoin sama Dhea dan Laras, sahabat SMA-ku, dengan pertimbangan kalau difotoin teman dekat, suasana jadi lebih santai dan kami bisa lebih "enjoy the session" (hazek). Apalagi kami tumbuh dan berkembang bersama sejak remaja, taste dan konsep foto pasti jadi masalah kecil dan tinggal eksekusi. Namun.. Rencana tinggal lah rencana manakala (((manakala))) Dhea dan Laras sama-sama berangkat S2 ke luar negeri di saat yang hampir berbarengan. Hiks. 

Akhirnya, aku mengonsep pernikahan tanpa foto pre-wedding dan menggantinya dengan lukisan wajah. Sekitar H-2 bulan aku mulai mengontak salah satu kakak kelas SMA yang super jago lukis, Mas Rio, yang saat itu sedang persiapan tugas akhir di ISI. Sebetulnya cuma modal kirim foto kita lewat Line, Mas Rio sudah bisa mengeksekusi lukisan sesuai yang kita minta. Waktu itu permintaanku adalah perpaduan antara realis dan surealis menggunakan media cat air, dengan tone yang cukup cerah tanpa meninggalkan ciri khas utama lukisan ala Mas Rio yang memiliki kesan agak mystical. Tapi karena kesibukan masing-masing, akhirnya saya baru setor foto H-2 mingguan. Itu pun sempat ganti foto di sekitaran H-seminggu untuk mendapatkan hasil yang lebih detail. Well, bukan Bintang namanya kalau bukan deadliner. Pun hasil akhirnya pun baru selesai dan diantarkan ke hotel (yang kebetulan bersebelahan dengan venue) di H-1 malam hari karena posisi cat air yang baru kering, hahaha. 

Ini dia penampakan lukisan wajah kami dengan ukuran 20RS atau 50 x 75 cm yang sampai detik ini masih belum dipasang di tembok.



Untuk piguranya sendiri aku pesan di daerah perempatan Sagan, sekitar H-2 dan minta jadi H-1 pernikahanku. Super mepet yhaaa, syukurlah semesta masih berpihak ke si Deadliner kali ini sehingga semua bisa selesai tepat waktu dan sesuai harapan.

Mas Rio menambahkan headpiece berupa flower crown untukku dan twig crown untuk Rizal untuk kesan yang lebih maskulin.



Mas Rio juga melukiskan bunga-bunga yang tampak seperti terbang keluar dari motif bajuku. Gemas sekaliii..



Aku suka sekali dengan sentuhan detail yang diberikan Mas Rio. Mulai dari lukisan wajah yang sangat mirip (bahkan aku merasa lebih cantik dalam lukisan, hahaha), sampai detail gradasi pewarnaan di rambut, pakaianku, di dedaunan yang super banyak di sekitarku dan Rizal, di headpiece, sampai kesan vintage pada kertas gulung sehingga tampak seperti perkamen. Selain itu, finishing bercak dari efek watercolor ini benar-benar membuat aku jatuh cinta.




Tertarik? Kamu bisa cari Mas Rio di Facebook dengan nama Rio Kurnia (atau klik disini) atau add Line ID "Rio Kurnia".


Jangan lupa yah, persiapkan semuanya jauh-jauh hari dan jangan jadi deadliner seperti saya kalau nggak kuat sport jantung.




Ciao!



11 February 2018

A Glimpse of Grajagan

My off-the-(blog)-record life in these past 3 years were happen in Banyuwangi. Never thought that I'll be staying there for a quite long time and finally tied my knot to "the one" here. 

Well, surprisingly this easternmost town in Java was not that boring. It has many tourist attractions, mostly natural and adventure place. The number keeps growing as the quality and the access, too. One of them - my favourite one- is Grajagan Beach. The pictures I share is not exactly located in the Grajagan Beach. I had to go to some kind of fisherman's village in the southern side of the real Grajagan Beach and took a little boat-sailing to get to the prettier beach. In Google Maps, I guess it's the beach named Coko. 

It was around 7 in the morning when the fishermen was just came and docked, bringing kilos (or probably tons) of fish. People were filling up their pails and basket with fishes.













After took a quick sightseeing while waiting for our boat ready, we sail a little to the land separated from the beach with a breathtaking view. 

It was dry season. From the land, we could see dried forest on the hills up above the rock and the sea. The colour matched the sand, while the blue sea looks like an oasis.





Something that made this place special is the "sand". The real sand covered by zillions of seashells, so you'll feel a little tingling sensation when stepping on it.



I can't write longer about my journey because I ain't good at remembering details and also, this trip were taken on September 2015 which is two and a half years ago! Basically I took pictures (a lot of pictures) to help me keep my memory. So, I hope these pictures tell more to you than I could.











See you soon!


04 February 2018

Terapi Membaca lewat Aroma Karsa

Berada di tengah padatnya pekerjaan selama delapan jam sehari (yang biasanya lebih) dalam lima hari seminggu, rasanya saat ini sangat sulit menyempatkan waktu untuk sekedar membaca buku. Hiburan-hiburan instan seperti talkshow komedi di TV dan social media hopping jadi pelarian paling nikmat setelah makan malam sampai menjelang tidur. Rasanya "satu minggu satu buku" atau "satu bulan satu buku" adalah gerakan yang terlalu muluk-muluk dan jauh tinggi di angan-angan untuk saya pribadi. Padahal di awal tahun saya sudah pernah menuliskan resolusi 2018 yang salah duanya adalah social media diet dan read real books. Dua resolusi itu berkorelasi. Maksud hati, kalau saya harus mengurangi berselancar di media sosial, maka saya harus mengkompensasinya dengan baca novel. Real books sendiri sih maksud hati ya novel, bukan baca sekedar baca koran apalagi berita online yang isinya singkat-singkat.

Sempat agak bingung gimana cara menunaikan resolusi itu, terutama bagian menggiatkan membaca buku. Saya jarang main ke toko buku. Belum lagi, saya sudah nggak mengikuti perkembangan kesusastraan Indonesia. Alhasil, penulis dalam negeri yang bukunya bagus pun saya nggak tau. Beberapa tahun terakhir ini sebenarnya saya sempat membeli total empat-lima buku berbahasa inggris dan indonesia, tapi saat membaca selalu terdistraksi handphone yang berbunyi sehingga tidak ada satu pun buku yang berhasil tuntas dibaca. Selain itu, mungkin karena terlalu dimanjakan dunia media sosial, saya jadi tidak telaten membaca paragraf panjang. Keadaan ini berbeda sekali dibandingkan saat saya masih SD dan SMP, saat-saat dimana saya dengan mudahnya hanyut dan tenggelam dalam imajinasi saat membaca novel.

Bagai gayung bersambut, sekitar minggu kedua bulan Januari salah satu penulis favoritku dari jaman SMA (atau bahkan SMP?), Dewi 'Dee' Lestari mengumumkan presale buku terbarunya, Aroma Karsa. Kali ini Ibu Suri, panggilan Dee Lestari, tidak langsung merilis hard copy-nya ke pasaran. Beliau lagi-lagi menerbitkannya dalam bentuk cerbung online. Terngiang perasaan hangat setiap kali selesai membaca buku beliau,  dengan harga yang saya rasa sangat terjangkau, saya nggak berpikir dua kali untuk langsung berlangganan.