Masih ingat nggak kapan terakhir beli CD (atau kaset) di toko musik?
Jauh sebelum Raisa-Hamish menikah, akhir tahun 2015 lalu bisa jadi hari patah hati seluruh pecinta musik Indonesia. Disc Tarra, raksasa ritel musik Indonesia, akhirnya memutuskan gulung tikar. Sedih banget, man! Memang sih, beberapa waktu sebelum Disc Tarra benar-benar berhenti beroperasi banyak bermunculan cara-cara out of the box dalam pendistribusian album musik. Salah satu cara distribusi yang paling gencar saat itu dilakukan oleh resto waralaba dengan sistem bundling paket makanan dengan CD. Selain itu, toko-toko CD independen pun banyak bermunculan. Pernah masuk distro yang sekaligus berjualan CD-CD musisi independen (indie)? Yep, itu salah satu bentuknya. Apalagi ketika jalur indie sendiri dirasa lebih menjanjikan (sempat baca artikelnya disini), otomatis jalur distribusinya pun juga lebih bebas; bisa masuk ke toko ritel semacam Disc Tarra, pun menjajakannya lewat toko musik indie. Pada akhirnya, raksasa ritel yang kebanyakan mengandalkan distribusi album label-label besar pun satu per satu gulung tikar.
Di akhir 2015 itu saya nggak sempat menikmati momen perpisahan dengan Disc Tarra yang kabarnya menjual banyak album dengan harga 'tiarap' (nggak cuma 'miring') karena sedang berdinas di kota kecil. Beberapa tahun hidup di sana, membuat saya agak kesulitan menghidupkan hobi mengumpulkan rilisan fisik karena ketiadaan toko musik. Selain beberapa kali sempat membeli di toko musik indie yang ada di luar kota dengan sistem online, setiap saya dinas di kota besar atau pulang ke Jogja saya menyempatkan diri untuk mampir ke toko musik seperti Disc Tarra yang memang banyak cabangnya di mall, jadi bisa sekalian cuci mata (yes, di kota tempat saya dinas pun nggak ada mal yang representatif).
Sampai akhirnya, setelah kembali ditugaskan di kota besar, tepatnya dua hari yang lalu saya serasa melihat fatamorgana. Antara nyata dan tidak. Toko Musik Bulletin!
Untuk yang masih ingat, Bulletin ini juga salah satu perusahaan ritel musik yang cukup besar di zamannya. Hanya saja kalau menurut pengamatan saya, Disc Tarra lebih cepat memodernkan diri dan membuka cabang lebih banyak di berbagai mal di perkotaan. Tapi jangan salah, Bulletin sebetulnya sama lengkapnya dengan Disc Tarra. Bahkan kalau tidak salah ingat, saya pernah membeli album Rectoverso di Bulletin Plaza Madiun beberapa tahun yang lalu saat sulit saya temukan di beberapa Disc Tarra Jogja.
Seperti rasa rindu yang belum tuntas, saya mengajak Rizal untuk kembali ke tempat itu di hari Minggu. Dengan perasaan lebih tenang, saya kembali tenggelam mengobati kerinduan akan proses melihat-lihat dan memilih-milih CD yang duduk manis di rak. Banyak CD yang sayang angkat, bolak-balik, lihat-lihat, taruh. Dan benar saja, dibalik ketenangan itu menghasilkan dua buah CD yang tersembunyi di baris-baris belakang, yang jelas tidak terlihat saat pertama kali mengunjungi Bulletin dua hari sebelumnya.
Lintasan Waktu saya beli karena memang Danilla telah dengan setia menemani masa-masa gelap penuh kegalauan antara lanjut S2 atau bekerja formal sekitaran 2013-2014 lalu. Yes, that early 20's confusing-yet-stressful decision-making moment that apparently lead to most of my life journey. Jadi, untuk menghormati Mbak Danilla yang setia itu, saya pun dengan setia membeli albumnya yang saat itu tersembunyi di baris paling belakang meskipun sebetulnya saya sudah cukup sering menikmatinya lewat Spotify.
Nah, membeli album yang satu ini memang cukup random. Seperti biasa, saya tertarik dengan desain kemasannya. Album Hela ini sangat unik karena dibalut dengan kertas kalkir. Booklet-nya pun barbahan sama, dari kertas kalkir. Wow, sangat "rajin" jika dibandingkan musisi-musisi lain yang mendesain kemasannya dengan sederhana. Kalau penyanyinya sendiri jujur saja saya hanya lamat-lamat mengetahuinya. Sepertinya sih agak jazzy gitu, pikir saya mencoba mengingat-ingat. Tapi karena niatnya random, jadi ya nggak usah terlalu dipikir juga musiknya gimana.
My plus one waktu pertama kali ke sana, my team mate Deedee |
Nah kalau ini my real plus one yang menemani dalam suka dan duka #eh |
Saking banyak dan segmented-nya musisi dibawah naungan Demajors, sampai-sampai ada dua rak khusus bertitel "Demajors" |
Bapak-anak ini mengunjungi Bulletin untuk mencari VCD anak. Wah, ternyata pengunjungnya 'lumintu' juga. |
Well, biar bagaimanapun toko musik satu ini harus kita pelihara kelangsungan hidupnya. Apalagi ditengah maraknya kolektor kaset dan piringan hitam yang kian menjamur. Jangan sampai kita-kita yang "hanya" kolektor CD ini jadi makin kehilangan sumber penambahan koleksi yang dapat dijangkau dengan mudah. Mengapa saya tidak beralih ke kaset atau piringan hitam yang sedang trending? Karena menurut saya CD adalah bentuk yang paling mudah dimainkan di mobil, tempat 40% waktu saya dihabiskan. Apalagi saat perjalanan jauh, tidak ada sinyal untuk ber-Spotify, pun menyetel radio. Selain itu, kita harus seimbang dalam hidup. Memainkan musik lewat digital music player iya, tapi mengumpulkan rilisan fisiknya juga iya. #bonschastheory :p
Anyway, kayaknya seru juga nih kalau kapan-kapan nulis pendapat tentang album yang baru saya beli ini. Ditunggu ya..
aku selalu suka baca blognya mbak bonbon, bahasanya bisa enak dibaca. gak kayak aku kalo cerita wkwk. btw aku juga suka beli CD loh.
ReplyDeleteKyaaa makasih Eris.. Kuncinya adalah : posting mendekati deadline. #lhoh :)) Waaa asik asik, ayo dilarisi toko CD one and only yg masih bertahan di Surabaya itu..
Delete