30 June 2018

Boso Jowo Jogja vs Jatim

Besar di Jogja membuat aku yang sebetulnya lahir di Jawa Timur dan berasal dari keluarga besar Jawa Timur nggak terlalu familiar dengan boso jowo Jawa Timuran. Secara ke sananya cuma setahun sekali dan beberapa hari saja waktu mudik Lebaran. Dulu kadang suka ketawa dalam hati setiap dengar saudara ngomong pakai bahasa Jawa Timuran. Selain beda logat, beberapa katanya juga berbeda dan kadang terdengar lucu. Lebih lagi, setiap kali nonton berita berbahasa Suroboyoan di JTV pun aku selalu ngakak-ngakak (sekarang masih sih, tapi udah nggak seheboh dulu). Ya gimana nggak ngakak, sementara JogjaTV berita boso jowonya selalu pakai kromo alus macam mau ngomong ke Bupati, JTV malah semacam, "Onok maleng mlayu digodak ambek pulisi, gak kecekel akhire ditembak ngantek matek". Kuasarrr puolllll.. :)) 

Bulan Oktober 2014 adalah pertama kalinya aku menjejakkan kali untuk waktu yang cukup lama di Jawa Timur. Waktu itu buat warming up aku ditempatkan di Surabaya selama sebulan. Cukup lemot waktu diajak ngobrol boso jowoan karena selain banyak kata beda dengan boso jowonya Jogja, aku pun agak bingung menanggapinya. Pernah suatu saat ada driver kantor yang sms untuk penjemputan di Bandara kira-kira bunyinya, "Pean di mana mbak?" Dalam hati, hah?? Pean?? Pean ini bahasa Inggris atau apa ya? (dan waktu itu aku bacanya /ˈpēənala bahasa Inggris). Akhirnya kubalas, "Pean itu apa ya Pak?" Baru lama kemudian aku baru paham bahwa "pean" itu singkatan dari "sampeyan". Owalaaaaaaahh..

Setelah sebulan di Surabaya, "dilemparlah" aku ke Banyuwanngi. Di sana mulailah lidah dan otakku benar-benar beradaptasi. Meskipun di awal-awal logatnya masih kaku banget dan nggak mengalir karena masih pakai mikir, aku selalu coba menanggapi obrolan boso jowoannya teman-teman di sana dengan boso jowo juga. Salah satu memori yang paling aku kenang adalah waktu beli makan. Penjualnya selaaalu tanya, "Iwake opo Mbak?" Batinku, ki ngendi to iwake wong onone ayam goreng, ndog, karo tahu-tempe. Ealaaah, ternyata di Jatim "iwak" itu maksudnya "lauk". Meskipun nggak berbentuk ikan tetep aja dibilangnya "iwak". *dan kemudian para iwak di Jatim pun mengalami krisis jati diri....... :'(*

Nah, dari pengalaman 4 tahun merantau ke Jawa Timur, sekitar dua hari lalu aku bikin thread di twitter tentang "Boso Jowo Jogja vs Jatim", yang isinya daftar kata dan ungkapan-ungkapan yang berbeda antara kedua bentuk boso jowo tersebut. Ternyata eh ternyata, thread itu banyak yang merespon dan beberapa malah jadi bahan diskusi (akhirnya hasil perantauanku berguna untuk khalayak ramai *terharu*). 


Nggak sedikit yang punya cerita hampir sama kayak aku, misalnya merantau dari Jogja ke Jatim atau sebaliknya, dan begitu kumpul dengan teman-teman lama malah keceplosan bahasa di tempat baru yang bikin mereka diketawain. Ada juga yang adiknya kuliah di Jatim, dia kuliah di Jogja, pas kumpul di rumah malah pakai bahasa Indonesia sebagai jalan tengah supaya nggak salah paham. Beberapa juga bercerita kalau kedua bahasa itu adalah bahasa yang berbeda dari masing-masing orang tua. Oiya, kalau mau baca thread-nya monggo disimak di sini. Pokoknya kalau tiba-tiba ingat suatu ungkapan atau kata-kata, pasti akan aku tulis di thread itu.

Selain itu, di blog ini aku juga akan berbagi kosakata dan ungkapan yang sudah terkumpul di thread itu. Bentuknya jpeg jadi kalau diantara kalian ada yang butuh buat contekan bisa langsung simpen aja di hp. Hihihi




Salah satu koentji yang bisa dipegang adalah, kalau Jogja rata-rata kata-katanya berakhiran "-ke" atau "-ne" dan itu berubah kalau di Jatim jadi "-no". Jadi misalnya:

- Jogja: "Kuwi barange diunggahke sik!"
- Jatim: "Iku barange diunggahno sik!"

Oh iya,  kalau Jogja bilang "kuwi", maka Jatim rata-rata bilangnya "iku". 


Jawa Timur ini luas banget dan tentu ada perbedaan-perbedaan bahasa di dalamnya. Aku sendiri sudah pernah menyimak percakapan di beberapa daerah seperti Madiun, Ponorogo, Blitar, Surabaya, Malang, dan Banyuwangi. Kurang lebihnya, Surabaya dan Malang hampir sama kasarnya, hanya saja Malang punya satu bahasa gaul yaitu bahasa walikan yang benar-benar dibalik cara bacaranya dari belakang ke depan, berbeda dengan bahasa walikan Jogja yang berasal dari urutan hanacaraka yang dibalik (baris 1 dengan 3, baris 2 dengan 4). Nah, semakin ke barat bahasanya semakin halus karena mendekati Jawa Tengah. Jadi sekitaran Madiun dan Ponorogo ini sudah cukup halus. Selain itu, berdasarkan salah satu balasan di thread, ternyata pasukan perang Pangeran Diponegoro melarikan diri dan bersembunyi di kawasan hutan di daerah Blitar dan sekitarnya. Nggak heran, kalau daerah Blitar bahasanya agak nJogjani. Yang aku cukup heran, Banyuwangi sebagai daerah paling pucuknya Jawa Timur, boso jowonya malah cenderung halus, mirip daerah Madiun. Bahkan daerah kidulan (selatan) malah agak nJogjani. Hmm, kayaknya kudu belajar sejarah lebih dalam lagi sih kalau mau ngulik tentang itu. Atau sekalian ambil kuliah sastra Jawa?? Hahaha

Baiklah, sekian dulu pembahsan boso jowo Jogja vs Jatim. Monggo kalau ada tambahan atau diskusi bisa lanjut di kolom komentar. Semoga berguna buat teman-teman yang mau merantau ke Jogja atau Jatim, atau bahkan lagi PDKT ke anak Jogja atau Jatim. Semoga meringankan beban adaptasi komunikasinya yaa.. :D






24 June 2018

Vitamin Booster

Ceritanya minggu ini lagi berjuang banget biar nggak drop karena flu. Suhu di ruangan kantor yang super dingin gara-gara sudah ditinggal 3/4 penghuninya, bikin badan jadi gampang meriang. Ditambah lagi hari ini one-day trip ke Madura yang super panas mengantar orang tua nyekar sekaligus reuni. Mungkin karena suhunya ekstrim ya, di luar super panas sementara di mobil dingin, alhasil pulang-pulang keliyengan nggak karuan.

Berhubung belum ke dokter, sementara ini imunnya di-boost pakai kiwi. Hampir setiap hari makan 2 kiwi, buah yang menurut hasil googling sih, vitamin C dan antioksidannya tinggi. Rencana besok mau ke dokter biar aman damai sentosa semuanya.



Shoo-shoo penyakit!



17 June 2018

Cerita untuk Anak Cucu




EidMubarak, everyone!
Wish you got tons of joyful moments with la famille and enjoy this year’s super long holiday to the fullest. Sudah foodcoma kah? Tensi apa kabar? Timbangan sudah naik? Nda papa nda papa, setahun sekali ini kok. Hihihi.

Sama seperti Mba CY yang tahun ini pertama kali merayakan Idul Fitri bersama sebagai suami-istri (baca ceritanya di sini), aku dan Rizal pun menjalani Ramadan dan Idul Fitri perdana. Ternyata ada-ada saja “seni”-nya; Mba CY nggak sholat Ied bersama suami karena suami sedang dinas, kalau saya dan Rizal sama sekali melewatkan sholat Ied karena Rizal demam tinggi sejak malam takbir. 

Jadi ceritanya Rizal sangat excited karena ini adalah kali pertamanya mudik seumur hidup. Selain itu, dia juga nggak sabar bertemu rumah kami yang kalau dihitung-hitung baru sempat kami tinggali berdua selama 2 bulan lamanya sebelum aku dimutasi. Saking semangatnya, H-1 sebelum berangkat Rizal sampai nggak bisa tidur. Persissss seperti anak kecil! Hahahaa

Setelah seharian kerja bakti di udara yang sangat panas, Rizal minta dibuatkan es sirup nata de coco untuk berbuka. Es sirup semangkok agak besar pun habis dibabat dia seorang saking hausnya. Namun ternyata, inilah awal dari petaka. Mungkin karena perubahan suhu yang ekstrim di badan ya, jadi nggak lama setelah maghrib Rizal langsung tepar seketika karena demam tinggi. Kami kira hanya masuk angin biasa karena kaos yang dipakai terbasahkan keringat. Namanya orang Jawa, kalau masuk angin pasti minta dikerokin dan selimutan sampai banjir keringat. Akhirnya setelah dikerokin, Rizal tertidur (meski nggak lelap) lalu menjelang subuh dia terbangun dengan suhu badan yang masih tinggi. Persiapan sholat Ied kami lakukan pelan-pelan sembari menunggu kondisi Rizal agak memungkinkan untuk bangun. 

Akhirnya, jam 6 pagi kami baru berangkat ke rumah orang tua untuk (niatnya) berangkat sholat Ied bersama. Ternyata jalanan sudah super sepi bagaikan kota mati. Keramaian hanya ada di beberapa titik masjid dan lapangan yang kami lewati. Yah, apalah daya.. Ternyata di tahun pertama pernikahan, kami belum diizinkan untuk sholat Ied bersama. 





Well, sebagai new-wife (yang masih amatir, huhuuu), ada beberapa pelajaran yang aku petik dari kejadian ini:
  1. Apapun kondisinya, harus wajib kudu bawa obat-obatan kalau bepergian ke luar kota (apalagi kota kecil) terlebih menjelang Hari Raya seperti ini. Sakit di hari pertama Lebaran rasanya sangat susah untuk mendapatkan obat dengan cepat di pagi hari. Kimia Farma dan Indomaret yang biasanya buka 24 jam pun baru mulai buka jam 10 pagi.
  2. Harus wajib belanja sebelum Lebaran. Paling tidak kita harus punya stok beras, telur, dan mie instan di rumah karena warung-warung makan belum pada buka di hari H dan H+1 Lebaran. Karena aku dan Rizal sempat makan sebungkus mie instan berdua saking laparnya waktu bangun tidur di pagi hari.
  3. Sepingin apapun minum es, jangan minum es langsung setelah terpapar udara panas dalam waktu lama. Sepingin apapun pasangan buka pakai es, jangan dibikinin kalau habis kerja bakti di udara panas. T_T

Meski hampir 2 hari nggak kemana-mana karena menemani suami yang tumbang, tapi aku tetap senang karena alhamdulillah masih bisa pulang dalam waktu yang super lama (12 hari bok!) tanpa dihantui irregularity, telepon dari sana-sini mulai dari request seat, dapo, komplain, dan lain sebagainya yang selama tiga tahun lalu setia “menemani” masa-masa liburku.

Akhir kata aku mengucapkan mohon maaf lahir dan batin, mohon maaf jika ada tulisan yang mungkin menyinggung dan tentunya tidak disengaja (nggak mungkin dong salah kok disengaja:( ). Semoga kita semua panjang umur dan masih bisa menikmati Ramadan di tahun-tahun mendatang. Amiiiin.. 





10 June 2018

Letter for You (part 1)

Dear You,

Lately, I feel like Tanaya Suma in Aroma Karsa. I have to survive to every smell, even the fragrant one. The worse is, I sometimes need to adapt to Rizal's smell over again! The smell that I always like, one that I miss when we're separated, but now I sometimes can't stand with it. Sounds ridiculous, right?

Well my Dear, after losing the one before you, your dad and I ever thought that having each other is more than enough. While there're still many people seeking for the one, we're already bond together and having each other's back. I feel so grateful and no word could express how thankful I am to be by his side. Then we started to live our life nonchalantly, letting 'it' to be His portion and do our portion as best as we could.

Then finally you're there. You came to us in the time we didn't expect. The time when we've let go of our blue and be surrendered. It's kinda part of His surprise, maybe. We're sure that He knows what's the best and when's the best timing for us.

Well, I'm now learning on not to be selfish and not forcing myself to do things I freely did, Dear. I have that feeling of protection, plus a little emotional trauma from the previous lost. I don't wanna lose for the second time and I don't wanna lose you now.

My Dear, there you are. I couldn’t see you now, but I know you’re there. 
I can feel it. I can feel you.


Hang in there, my Dear. Let's enjoy our 8 months' ride together. :)



03 June 2018

Saman - Ayu Utami

I should be proud of myself, karena.. Setelah sekian lama vakum dari dunia baca membaca akhirnya  aku "pecah telor" baca buku dengan waktu yang relatif singkat; 200 halaman dalam waktu (kurang-lebih) 24 jam!

Sabtu malam kemarin, seperti biasa aku menemani Rizal dan kawan-kawan main billiard di kawasan Dharma Husada. Karena nggak bisa main, aku memilih menyeberang ke toko buku yang ada di depannya, persis seperti ceritaku beberapa minggu lalu (baca ceritanya di sini). Menghabiskan waktu sekitar setengah jam mengitari rak-rak dengan susunan buku yang cukup membingungkan (dan berantakan), akhirnya mataku terpaku pada buku bersampul unik ini, Saman karya Ayu Utami. Sebelumnya aku pernah membaca Bilangan Fu, karyanya yang lain, sekitaran masa akhir kuliah dulu. Tapi ya begitu. Karena inkonsisten dan masih terdistraksi penggarapan skripsi (selain karena bukunya yang cukup tebal), sampai sekarang mungkin baru tiga per empatnya saja yang rampung terbaca. Hehehe



Sekilas tentang Saman, novel ini betul-betul terasa identitas bahasa penyampaian yang sangat "Ayu Utami". Bedanya dengan Bilangan Fu, tempo Saman terasa lebih cepat (mungkin karena jumlah halamannya juga berbeda, ya), bahkan hampir di seluruh bagiannya aku membaca tanpa jeda. Saman benar-benar membuka wawasanku tentang era Orde Baru yang hanya sempat sedikit kurasakan di masa kecilku karena masih dalam usia bermain yang tidak tahu seperti apa  sebetulnya perjuangan menggapai Reformasi. Yang ada di ingatanku hanya sebatas bekas ban-ban yang dibakar berserakan di sekitaran Tugu, yang kusaksikan dari becak saat awal menjejakkan kaki di Jogja bersama orang tuaku, serta pemandangan pintu-pintu toko bertuliskan "PRIBUMI" dari pilok.

Pada sinopsis yang terletak di sampul belakang, Saman bercerita tentang empat perempuan yang bersahabat sejak kecil dan dua diantaranya jatuh cinta pada orang yang sama, Saman. Pertanyaannya, "Kepada siapakah Saman akhirnya jatuh cinta?" Mungkin kalau tidak ada nama Ayu Utami di sampul depannya, aku tidak akan membeli novel ini karena sekilas petikan ceritanya hanya seperti teenlit yang berkutat di percintaan remaja. Namun ternyata, aku tidak salah beli. Sejak awal, kita diajak berjalan-jalan ke cerita tokoh-tokoh lain yang bahkan sempat membuatku bertanya dalam hati,"Ini mana Saman-nya, sih??"

Dengan plot maju-mundur, Ayu Utami berhasil menggambarkan perjuangan-perjuangan rakyat jelata dalam menghadapi kekuatan yang digdaya, feminisme yang digambarkan dari empat sahabat dengan kisahnya masing-masing, seksualitas yang digambarkan dengan cukup gamblang dalam bahasa sastra yang tidak murahan, serta dibumbui sedikit cerita mistis dari daerah yang baru babat alas. Cerita dalam novel ini tidak akan terbangun apik tanpa latar belakang yang kuat dari seorang Ayu Utami yang mantan wartawati, salah satu profesi yang saat itu bagai menggadaikan nyawa.

Buku yang pertama rilis menjelang akhir masa Orde Baru ini tentu sangat berani mengungkap konspirasi berbahaya dari kekuatan-kekuatan superpower di kala itu. Di samping itu, Ayu Utami juga berani menceritakan seksualitas yang saat itu masih sangat dianggap tabu. Mungkin kalau di zaman penjajahan ada Pramoedya Ananta Toer, di era Orde Baru (salah satunya) ada Ayu Utami. Untung saja buku ini tidak dibatalkan peluncurannya, pengarangnya masih hidup, bahkan sampai sekarang Saman telah diterjemahkan setidaknya ke 10 bahasa. Novel pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, diulas, dan dikupas lebih dalam bahkan setelah 20 tahun umurnya. Nggak percaya? Buku ini sudah dijadikan bahan dari banyak skripsi dan jurnal, lho (baca di sini).

Baiklah, demikian dulu ulasan ala-ala dari newbie reader ini. Semoga berguna yaa..