Besar di Jogja membuat aku yang sebetulnya lahir di Jawa Timur dan berasal dari keluarga besar Jawa Timur nggak terlalu familiar dengan boso jowo Jawa Timuran. Secara ke sananya cuma setahun sekali dan beberapa hari saja waktu mudik Lebaran. Dulu kadang suka ketawa dalam hati setiap dengar saudara ngomong pakai bahasa Jawa Timuran. Selain beda logat, beberapa katanya juga berbeda dan kadang terdengar lucu. Lebih lagi, setiap kali nonton berita berbahasa Suroboyoan di JTV pun aku selalu ngakak-ngakak (sekarang masih sih, tapi udah nggak seheboh dulu). Ya gimana nggak ngakak, sementara JogjaTV berita boso jowonya selalu pakai kromo alus macam mau ngomong ke Bupati, JTV malah semacam, "Onok maleng mlayu digodak ambek pulisi, gak kecekel akhire ditembak ngantek matek". Kuasarrr puolllll.. :))
Bulan Oktober 2014 adalah pertama kalinya aku menjejakkan kali untuk waktu yang cukup lama di Jawa Timur. Waktu itu buat warming up aku ditempatkan di Surabaya selama sebulan. Cukup lemot waktu diajak ngobrol boso jowoan karena selain banyak kata beda dengan boso jowonya Jogja, aku pun agak bingung menanggapinya. Pernah suatu saat ada driver kantor yang sms untuk penjemputan di Bandara kira-kira bunyinya, "Pean di mana mbak?" Dalam hati, hah?? Pean?? Pean ini bahasa Inggris atau apa ya? (dan waktu itu aku bacanya /ˈpēən/ ala bahasa Inggris). Akhirnya kubalas, "Pean itu apa ya Pak?" Baru lama kemudian aku baru paham bahwa "pean" itu singkatan dari "sampeyan". Owalaaaaaaahh..
Setelah sebulan di Surabaya, "dilemparlah" aku ke Banyuwanngi. Di sana mulailah lidah dan otakku benar-benar beradaptasi. Meskipun di awal-awal logatnya masih kaku banget dan nggak mengalir karena masih pakai mikir, aku selalu coba menanggapi obrolan boso jowoannya teman-teman di sana dengan boso jowo juga. Salah satu memori yang paling aku kenang adalah waktu beli makan. Penjualnya selaaalu tanya, "Iwake opo Mbak?" Batinku, ki ngendi to iwake wong onone ayam goreng, ndog, karo tahu-tempe. Ealaaah, ternyata di Jatim "iwak" itu maksudnya "lauk". Meskipun nggak berbentuk ikan tetep aja dibilangnya "iwak". *dan kemudian para iwak di Jatim pun mengalami krisis jati diri....... :'(*
Nah, dari pengalaman 4 tahun merantau ke Jawa Timur, sekitar dua hari lalu aku bikin thread di twitter tentang "Boso Jowo Jogja vs Jatim", yang isinya daftar kata dan ungkapan-ungkapan yang berbeda antara kedua bentuk boso jowo tersebut. Ternyata eh ternyata, thread itu banyak yang merespon dan beberapa malah jadi bahan diskusi (akhirnya hasil perantauanku berguna untuk khalayak ramai *terharu*).
Nggak sedikit yang punya cerita hampir sama kayak aku, misalnya merantau dari Jogja ke Jatim atau sebaliknya, dan begitu kumpul dengan teman-teman lama malah keceplosan bahasa di tempat baru yang bikin mereka diketawain. Ada juga yang adiknya kuliah di Jatim, dia kuliah di Jogja, pas kumpul di rumah malah pakai bahasa Indonesia sebagai jalan tengah supaya nggak salah paham. Beberapa juga bercerita kalau kedua bahasa itu adalah bahasa yang berbeda dari masing-masing orang tua. Oiya, kalau mau baca thread-nya monggo disimak di sini. Pokoknya kalau tiba-tiba ingat suatu ungkapan atau kata-kata, pasti akan aku tulis di thread itu.
Selain itu, di blog ini aku juga akan berbagi kosakata dan ungkapan yang sudah terkumpul di thread itu. Bentuknya jpeg jadi kalau diantara kalian ada yang butuh buat contekan bisa langsung simpen aja di hp. Hihihi
Salah satu koentji yang bisa dipegang adalah, kalau Jogja rata-rata kata-katanya berakhiran "-ke" atau "-ne" dan itu berubah kalau di Jatim jadi "-no". Jadi misalnya:
- Jogja: "Kuwi barange diunggahke sik!"
- Jatim: "Iku barange diunggahno sik!"
Oh iya, kalau Jogja bilang "kuwi", maka Jatim rata-rata bilangnya "iku".
Jawa Timur ini luas banget dan tentu ada perbedaan-perbedaan bahasa di dalamnya. Aku sendiri sudah pernah menyimak percakapan di beberapa daerah seperti Madiun, Ponorogo, Blitar, Surabaya, Malang, dan Banyuwangi. Kurang lebihnya, Surabaya dan Malang hampir sama kasarnya, hanya saja Malang punya satu bahasa gaul yaitu bahasa walikan yang benar-benar dibalik cara bacaranya dari belakang ke depan, berbeda dengan bahasa walikan Jogja yang berasal dari urutan hanacaraka yang dibalik (baris 1 dengan 3, baris 2 dengan 4). Nah, semakin ke barat bahasanya semakin halus karena mendekati Jawa Tengah. Jadi sekitaran Madiun dan Ponorogo ini sudah cukup halus. Selain itu, berdasarkan salah satu balasan di thread, ternyata pasukan perang Pangeran Diponegoro melarikan diri dan bersembunyi di kawasan hutan di daerah Blitar dan sekitarnya. Nggak heran, kalau daerah Blitar bahasanya agak nJogjani. Yang aku cukup heran, Banyuwangi sebagai daerah paling pucuknya Jawa Timur, boso jowonya malah cenderung halus, mirip daerah Madiun. Bahkan daerah kidulan (selatan) malah agak nJogjani. Hmm, kayaknya kudu belajar sejarah lebih dalam lagi sih kalau mau ngulik tentang itu. Atau sekalian ambil kuliah sastra Jawa?? Hahaha
Baiklah, sekian dulu pembahsan boso jowo Jogja vs Jatim. Monggo kalau ada tambahan atau diskusi bisa lanjut di kolom komentar. Semoga berguna buat teman-teman yang mau merantau ke Jogja atau Jatim, atau bahkan lagi PDKT ke anak Jogja atau Jatim. Semoga meringankan beban adaptasi komunikasinya yaa.. :D