08 April 2018

Danilla - Lintasan Waktu (review)

Empat tahun yang lalu, Telisik hampir tidak pernah absen diputar dimanapun aku berada bahkan menemani jogging hampir setiap sore. Syahdu sekali proses lariku waktu itu ditemani suara alto Danilla beriringkan musik bernada minornya, ditambah sinar jingga matahari sore silih berganti menembus ranting pepohonan yang cukup rindang di sekitaran Graha Sabha Pramana (GSP), Rektorat dan perumahan dosen yang menjadi rute langgananku. Lari sore "bersama" Danilla selalu jadi momen berdiskusi dengan diri sendiri yang saat itu masih di awal 20-an; takut melangkah dan ragu menentukan arah. 

Ini pun digambar di dalam mobil yang terparkir di kawasan GSP, di bawah pepohonan, habis melamun, di saat galau menjalani masa awal 20-an.


Akhir Agustus 2017 lalu, aku kaget sewaktu membaca status Danilla di Twitter. Entah aku yang terlewat membaca update-nya atau bagaimana, tapi seperti tidak ada bocoran apa-apa sebelumnya, tiba-tiba ia mengumumkan bahwa album Lintasan Waktu sudah rilis secara digital. Aku langsung menilik sekilas lagu-lagu di album barunya, namun sejujurnya belum sampai mendalaminya seperti aku menghayati Telisik. Well, karena bulan lalu sudah beli rilisan fisiknya (ceritanya ada disiniplus aku sudah lama nggak membuat review musik 'ala-ala', kali ini aku akan membahas tentang Lintasan Waktu, album kedua Danilla.


"Laguland" menyapa kita di album ini dengan genjrengan lambat gitar yang berdistorsi, berhias melodi synth dan vokal lay back yang mengajak kita mengawang ke ruang kontemplasi. Selanjutnya suara vokal Sigit Agung Pramudita (Tigapagi) yang lembut berpadu manis dengan alto khas Danilla di lagu kedua, "Entah Ingin Kemana". Penambahan efek synth semacam suara-suara luar angkasa yang makin terasa di 3/4 bagian lagu, makin membawa imajinasi kita tenggelam ke entah kemana. Lagu ketiga, "Kalapuna", yang sudah sempat rilis di 2016, adalah salah satu lagu yang membuat saya-si-Pisces-yang-sensitif bisa menangis tanpa sebab. Apalagi saat hujan, temaram, dan sendiri. Well, selamat menyiksa diri.  

Di lagu "Meramu", Danilla benar-benar berhasil meramu lirik padat dengan aransemen musik yang patah-patah di bagian song dan bernyanyi dengan nada tinggi (versinya) di bagian refrain. Seperti meraung; menusuk! Kedewasaan Danilla dalam bermusik terdengar dari kayanya instrumen, salah satunya di nomor "Ikatan Waktu Lampau" yang makin menyayat hati dengan gesekan biola yang mengiringi melodi nyanyiannya. Dalam single "Aaa" pun sangat terasa kedewasaannya dengan penonjolan suara bass di awal, yang berpadu cantik dengan synth, dilengkapi solo gitar berdistorsi yang membuat nuansa 'memohon' di lagu ini makin terasa ratapannya, namun tetap tidak cheesy.

Suasana gelap masih terus meliputi meskipun "Dari Sebuah Mimpi Buruk" terkesan lebih mayor di awal dengan aransemen mini orkestra dan berubah sendu di refrain. Seperti hidup, kita bisa saja berjalan santai dan bersenang-senang namun tiba-tiba malang melintang di hadapan kita. Penuh kejutan. Itulah kesan saya terhadap lagu ini. Dan lagi-lagi Danilla membuktikan bahwa ia bisa menghantam nada-nada tinggi di lagu "Usang" yang kali ini dipermanis dengan melodi piano yang sengaja dibuat menonjol. 

"Ini dan Itu" kembali mengajak kita berimajinasi ke dunia antah berantah dengan paduan synth dan mini orkestra yang mengalun ramah dibalik lirik penuh kontemplasi; "Namun dimana peranku, tuk ini dan itu. Inginku tak lalu berpangku tangan menggapai angan". Tempo yang melambat di pertengahan lagu membawa kita mengawang jauh. Terakhir, "Lintasan Waktu" yang sudah dibocorkan sepenggalnya di Telisik menjadi pamungkas di album ini. Rasakanlah. Lagu ini menjadi penutup yang klimaks dengan hentakan drum dan musik yang cukup cadas, disertai ending solo piano.



Berbeda dengan Telisik yang saat itu bermodal Buaian sebagai single utama bernada riang untuk menggaet pendengar awam, di album ini Danilla tampil sangat dewasa, lebih matang, dan lebih menjadi-diri-sendiri dengan nuansa album yang menurut saya, secara keseluruhan, gelap. Distorsi gitar mendominasi di hampir keseluruhan lagu, pun suara Danilla yang terasa lebih matang (dan berat) dibandingkan album sebelumnya, menahbiskan bahwa nyawa album ini adalah tentang kesedihan. Nada-nada yang tidak tertebak menjadikan lagu-lagu di Lintasan Waktu kurang mudah dihafalkan, pun kurang asyik untuk dinyanyikan bersama saat sang Musisi sedang manggung. Album ini paling nikmat didengarkan sendirian. Terlebih jika ingin menikmati masokisme kegalauan melalui lagu.

Bagi Danilla yang saat ini sudah memiliki fanbase yang kuat hasil memperkenalkan musik sendunya melalui album pertama yang disisipi alunan jazz dan swing di sana-sini, tentu tidak masalah jika album ini dijadikan ladang eksplorasi, baik dari segi aransemen maupun lirik yang menurut saya makin puitis dan personal (hanya Danilla dan tuhan yang tahu maknanya). Toh, penggemarnya pasti akan mencintai karyanya bagaimanapun. Dan sebagai musisi independen, Danilla pun pasti akan tetap berkarya dengan jujur. Sejujur saat ia mengungkapkan kesedihan-kesedihannya melalui semua lagu dalam album ini.

"Berbagi tak hanya tentang kesenangan, kesedihianpun layak dapat ruang untuk diceritakan." -- Danilla Riyadi


Penasaran. Akan seperti apa album Danilla selanjutnya. 



No comments:

Post a Comment