Setelah masuk dunia kerja, terlebih (hampir) jadi emak-emak, rasanya cukup sulit untuk terus
update pada perkembangan musik indie tanah air. Selain karena sempat ditempatkan di kota yang minim pertunjukan musik bahkan tidak ada toko CD-nya, pun tidak ada lagi teman atau
circle yang rajin memberi rekomendasi. Pindah ke kota besar, harapanku adalah bisa nonton banyak konser mulai dari yang kecil-kecilan sampai yang besar sekalipun. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain; mulai dari jadwal kuliah di hari kerja
, sampai munculnya si Adek di perut. Dua kehendak Tuhan yang membuat aku lebih memilih memperbanyak waktu istirahat daripada beredar kemana-mana.
Bisa dikatakan, "perkenalanku" dengan Kapal Udara malam ini pun adalah sebuah ketidaksengajaan. Dengan kondisi kram perut yang masih muncul tak menentu, aku mengusahakan untuk bertemu dengan sahabatku yang jauh-jauh datang dari Jogja unuk jadi band pengisi acara di
Sunday Market. Tak disangka, band pengisi setelahnya ternyata mencuri perhatianku meskipun hanya sempat mendengar dua lagu pertamanya saja karena kuharus mengibarkan bendera putih, nggak sanggup berdiri lama apalagi di tengah riuhnya manusia yang merokok di sana-sini.
Inilah pentingnya first impression; meskipun penonton mungkin tidak mendengar jelas lirik lagunya, tapi sebuah band harus memainkan musiknya dengan padu, rapi dan apik. Perpaduan itu yang menjadikan musik Kapal Udara sangat ear-catchy sejak pertama mendengarnya. Inilah yang menjadi modalku untuk browsing dan langsung memberanikan diri menulis review tentang album Seru dari Hulu.
Album, atau yang mereka sebut dengan EP, ini berisikan lima lagu dan telah rilis sekitar Desember 2017 lalu. Di Sunday Market tadi, sekilas aku bisa merasakan hawa-hawa The Trees and the Wild (TTATW) lewat musiknya yang rancak dan suara vokal yang saling bersahutan dengan padu. Melodi gitar yang juga bersahutan pun membawa hawa yang sama, ditambah naik-turunnya ritme lagu yang dibuat sangat pas, menjadikan lagu-lagu Kapal Udara ini masuk ke tipe-tipe musik yang bisa mengajak pendengarnya bergoyang ringan, menggerak-gerakkan kepala ke kiri-kanan, bahkan headbang santun (apa coba???). Ya maksudnya beda sama headbang keras ala musik metal dan sejenisnya gitu, hehehe. Mungkin musik-musik ber-genre folk ini sudah banyak digarap oleh band-band yang berasal dari Bandung, Jogja atau Jakarta. Yang menurutku spesial dari Kapal Udara adalah mereka berasal dari Makassar. Kota yang kalau secara kemiripan, mungkin lebih mirip dengan Surabaya yang panas karena terletak di tepi laut sehingga (berdasarkan kesotoyanku) seharusnya musisi di sana lebih banyak menelurkan musik-musik beraliran rock dan sebangsanya.
Lagu-lagu dalam EP ini mereka beri judul yang unik dan menurutku sarat akan kearifan lokal; Menyambut, Melaut, Menanam, Menari, Merantau. Mendengar lagu mereka berulang ditambah membaca liriknya (di
sini), membuatku sadar bahwa liriknya pun menjunjung tinggi kelokalan. Adanya sisipan puisi di lagu Menyambut, misalnya, pada kata-kata
"Setelah jauh tuan berlayar, memberi gelar dan seribu kabar. Berkumpulah para saudagar, mohon urusan sekiranya lancar". Dilanjutkan dengan lagu kedua, Melaut, yang diawali samar suara debur ombak, seketika di pikiranku benar-benar tergambar adegan kapal phinisi mengarungi lautan. Lagu ketiga, Menanam, dengan tempo yang lebih pelan, seketika membawa anganku ke perjalanan melewati daerah yang subur dengan areal persawahan yang membentang luas di pagi hari sekitaran pukul 5.30 pagi saat mentari mulai menyingsing. Namun liriknya ternyata sarat makna adanya alihfungsi lahan, sepenangkapanku. Sedih ya. Tapi ini salah satu cara cerdas dari musisi untuk menyuarakan perasaan ibanya. Selanjutnya lagu berjudul Menari, salah satu favoritku, karena padu suara mereka sungguh apik dan ciamik berpadu dengan melodi gitar bersahutan, apalagi saat mendengarkan versi
unplugged-nya di
Youtube. Di lagu terakhir, Merantau, liriknya meski tersirat namun rasanya masih sangat relevan bagi para perantau yang ingin kembali pulang selamanya namun hati masih dipenuhi keraguan. Dalama sekali maknanya.
Di awal aku sempat mengatakan bahwa sekilas musik Kapal Udara mirip TTATW. Aku sejujurnya langsung teringat video musik lagu mereka yang berjudul Malino yang bertajuk
Dua Tiang Tujuh Layar, yang bercerita tentang masyarakat pembuat phinisi. Perbedaan antara musik TTATW dan Kapal Udara sendiri adalah, Kapal Udara terasa lebih ringan, sangat mudah dibuat bergoyang ringan sejak pertama mendengarnya. Perbedaan lain tentunya mereka asli tanah Daeng, seperti judul lagu TTATW Malino yang merupakan dataran tinggi di Sulawesi Selatan, sehingga musik dan melodinya kental dengan nuansa musik tradisional daerah terutama pada melodi gitar yang dibuat bersahutan dengan sangat bersahaja. Meski liriknya sarat akan perjuangan dan kemanusiaan yang cenderung kelam, tapi rasanya sangat asik mendengar lagu-lagu dalam album ini untuk injeksi semangat di pagi hari, atau bahkan selama perjalanan luar kota apalagi saat melewati pemandangan persawahan, tepi pantai, atau hutan. Perasaan sama yang kurasakan saat berulang kali mendengarkan album "3 Hari Untuk Selamanya" milik Float di tengah perjalanan.
Aku tidak mau menikmati band "berbahaya" ini sendirian. Kalian harus coba dengarkan juga ya, karena Seru dari Hulu tak hanya seru di hulu saja, tapi juga di tempat kalian berpijak sekarang.