Ini baru pertama kalinya aku bahas di blog tentang film yang pernah aku tonton. Pada dasarnya aku bukan movie freak, tapi memang untuk genre horor (kecuali Anabelle karena ngga bisa nonton yang boneka-boneka gitu, pasti kebawa mimpi sampai waktu yang lama) aku hampir tidak pernah melewatkan. Meskipun sebetulnya aku penakut, tapi rasanya seru aja adrenalin dipacu selama di bioskop. Kadang deg-degannya malah terbawa sampai pulang, yang bahkan nggak berani matiin lampu waktu tidur. Hihihi
Jadi akhir minggu lalu, aku nonton Hereditary di CGV. Penasaran banget karena dari jauh-jauh hari sudah banyak yang menggadang-gadang kalau film ini lain daripada film horor manapun yang pernah ada. Ditambah lagi, Joko Anwar bolak-balik merekomendasikan film ini melalui cuitannya di twitter. Makin penasaran, dong. Sutradara film horor Indonesia terbaik di zaman ini aja sampai seintens itu promosiin Hereditary. (Tapi guys, percayalah. Kayaknya ada udang di balik batu alias ada maksud di balik kegetolan Jokan promosiin Hereditary. Menurut aku sih.. )
Hereditary pada dasarnya adalah cerita keluarga yang runyam bin rumit. Pada review ala-ala ini, izinkanlah pertama-tama aku membedah satu per satu karakter yang ada di film. Si Nenek yang baru saja meninggal, ternyata berkepribadian ganda (kalau nggak salah ingat ya), sulit ditebak maunya apa, introvert, penuh rahasia dan...... klenik. Setelah meninggal, si Nenek pun menyisakan misteri buat keluarganya. Misteri itu mulai “dilihat” oleh cucu perempuan kesayangannga, Charlie, yang baru berusia sekitar 13 tahun. Karena dia adalah yang paling dekat dengan Nenek, maka “sosok” Nenek pertama kali menampakkan diri di hadapannya plus kasih petunjuk ini-itu. Charlie ini karakternya kuat banget. Doi digambarkan sebagai sosok yang introvert juga, suka menggambar, asik dengan dunianya sendiri dan cenderung aneh untuk anak seusianya. Doi juga suka menghabiskan waktu di rumah pohon yang ada di depan rumahnya, bahkan dia kayaknya lebih nyaman tidur di sana. Terbukti dengan adanya mesin pemanas yang sudah disiapkan di dalamnya.
Berbeda dari Charlie, Peter sang Kakak, adalah tipikal cowok SMA yang lebih extrovert, banyak teman, dan lagi dalam pencarian jati diri di luar rumah; party, main terus, bahkan nyimeng. Dari seluruh anggota keluarga, menurutku si Peter ini yang paling normal. Seharusnya.
Beranjak ke orang tua Charlie dan Peter, yang tidak lain tidak bukan adalah anak perempuan Nenek, Annie, merupakan pembuat miniatur bangunan dan seisinya (bagus banget karyanya sumpah deh) yang sedang dikejar deadline dari sebuah galeri seni. Dia adalah tokoh sentral dalam film ini. Akting Toni Collete sebagai Annie patut diberi penghargaan sih kalau menurutku. Dia bisa memerankan tokoh yang sangat kompleks, emosional, rapuh, memiliki gangguan kesehatan mental, yang sedikit banyak terpengaruh dari si Nenek. Contoh kecilnya nih ya, waktu Charlie lahir, si Nenek ngotot pingin nyusuin doooong saking posesifnya sama Charlie. Apa nggak stress tuh si Annie?! T_T
Nah, dalam film ini suami Annie, Steve, bagai oase di tengah padang tandus. Alias sosok yang paling kalem dan sabar dalam menghadapi “kegilaan” istrinya. Terlebih lagi habis kecelakaan tragis yang menewaskan Charlie. Seberapa tragis? Tragis banget lah pokoknya sampe bikin Annie jejeritan nggak karuan dan Peter stress minta ampun. Cuma sayangnya Pak Steve ini kurang tegas sebagai sosok bapak. Ya mungkin karena nggak mau nyakitin istrinya juga sih ya. Atau emang bawaannya terlalu calm and cool?
Sebetulnya film ini bagus banget banget banget. Bukan tipe film horor yang sedikit-sedikit bikin kaget, tapi kita dipaksa selama kira-kira 1,5 jam pertama untuk mendalami karakter dan problem yang ada di keluarga itu secara pelan-pelan. Alurnya lambat memang, tapi justru itu yang membuat kita makin iba sama kondisi keluarga Pak Steve. Semacam, satu masalah belum tuntas, eh ada lagi masalah lain yang benar-benar menguras emosi dan energi.
Nah, kira-kira si setengah jam terakhir baru lah terungkap kenapa keluarga Pak Steve bagaikan kena kutukan yang tidak berkesudahan. Kurang lebih yaaa karena si Nenek semasa hidupnya ikutan sekte pemuja iblis dan bahkan ditahbiskan sebagai RATU! Iya aku nulisnya pake huruf kapital karena YA AMPUN NEK, ente jadi Ratu tapi ngorbanin anak cucuuu.. Yang bener-bener aja kek Nek. Huhuuu.. :(( Daaaan lebih parahnya lagi, si Nenek ternyata menumbalkan Peter untuk jadi “inangnya” roh Raja Paimon (namanya nggak kece sih tapi beneran ada di mitologi sebagai pengikut Iblis Lucifer yang paling setia). Di akhir cerita, sosok Peter lah yang akhirnya dipuja dan disembah para pengikut sekte itu yang cara memujanya tuh harus dengan bertelanjang bulat dan bahkan anggota keluarga Pak Steve yang sudah meninggal pun turut dihadirkan dengan..... Tanpa kepala. Iya, kalau disimak memang clue dari awal cerita adalah.... kepala..... yang putus. :|
Yang membuat nilai Hereditary agak minus di mataku adalah scene waktu sosok Annie yang tanpa kepala terbang naik menuju ke rumah pohon. Ini bagian yang paling malesin banget sih, bikin langsung keinget film-film Tante Suzana waktu ada putih-putih melayang gituu. Hahhhhh -_- Jadi awalnya Annie (tampaknya) kesurupan, berusaha mengejar dan membunuh Peter, lalu memotong kepalanya sendiri pakai benang (males banget bayanginnya waktu nulis ini), setelah itu dia berusaha kasih petunjuk ke Peter yang linglung habis jatuh ke taman dari loteng lantai 2 untuk ikutan masuk ke rumah pohon dengan cara melayang tanpa kepala. Itu aja sih scene yang bikin “drop shaaay”. Karena harusnya tanpa scene kayak gitu pun, Hereditary sudah mencekam dengan caranya sendiri. Oiya, selain itu durasi yang panjang (sekitar 2 jam) untuk film horor sih menurut aku kelamaan. Backsound yang terasa mengganggu di awal lama-lama sudah nggak terasa seram lagi dan yah, capek aja 2 jam dibikin penasaran (akutu ngga bisa diginiin orangnya:( ) Overall, Hereditary aku kasih nilai 7,75/10. Eh, 8 ding. Soalnya sinematografinya keren banget!
Well, segitu dulu “review ala-ala” kali ini. Kalau ada niat film yang menurut aku oke, kapan-kapan aku tulus lagi dan sekalian bikin tag sendiri tentang film. Hahaha. See you!