04 November 2020

Re-Hello!

Halo! 

Wow, kaget sih pertama login (lagi) ke blogspot ini, ternyata tampilannya sudah berubah. Apa tim di Blogspot juga ngerasain WFH dan "aduh-ini-kok-gini-gini-aja-sih-tampilannya-coba-ah-rubah-rubah-dikit-biar-nggak-bosen"? :)) (Berdasarkan pengalaman suami yang sempat WFH dan malah berujung ngecat ulang tembok dan pagar rumah, plus beberes taman) 


Well, hampir 7 bulan lewat dari tulisanku di bulan April lalu, tentunya banyak hal yang terjadi dalam kehidupanku. The biggest event is.. tidak lain tidak bukan.. Kelahiran anak lanang di akhir Juni! *clap*


Di tulisanku selanjutnya, aku akan berbagi suka duka dan trauma yang aku rasakan di proses persalinan kedua ini. Bukan untuk apa-apa sih sebetulnya, bukan juga share demi traffic orang yang berkunjung ke blog ini (BECOZ WHO I AM??). Tapi lebih ke... Apa ya. Ternyata setelah aku rasa-rasain, menulis itu salah satu caraku untuk menenangkan diri. Semacam terapi mungkin. Kenapa aku bilang begitu? Karena setelah banyak hal yang kulalui, nampaknya aku merasa butuh untuk meluapkan perasaanku.


Jadi siapapun yang mampir ke blogku dan baca-baca tulisanku, aku tidak peduli (hahahaha), aku cuma butuh tempat untuk berkeluh lewat tulisan. Yuhuuu..

27 April 2020

Judul Mainstream: Di Tengah Pandemi

Well, aku ngga pernah menyangka akhirnya yang akan membawaku kembali nulis di sini adalah si wabah Covid-19. Minggu ini memasuki minggu keenam kantorku menerapkan sistem WFH (Work From Home) dan WFO (Work From Office) bergantian untuk mengurangi dampak penularan virus Covid-19. Bagi aku, WFH rasanya justru seperti cuti gravida yang datang lebih awal (usia kandunganku sekarang sudah sekitar 32 minggu btw)). Dan rasanya seperti mengulang masa-masa menunggu Baby R lahir dimana aku sendirian di rumah dan nggak ada hal berfaedah yang bisa aku kerjakan. Bedanya, sekarang usaha rebahan di rumah aja sangat dihargai daripada keluar rumah atau kumpul-kumpul. 

Selain kegiatan kantor yang sangat jauh berkurang, kegiatan rumah tangga pun juga berkurang. Jadi sekitar dua bulan yang lalu aku ambil cuti seminggu untuk mengobati rindu Jogja yang sudah kutahan hampir setahun lamanya karena terakhir aku pulang ke Jogja  adalah saat Baby R masih berumur 2 bulan. Bucket list sudah dicatat dengan tempat-tempat yang ingin aku datangi dan kuliner yang ingin aku santap. Pada akhirnya, rencana tinggal lah rencana. Sekitar dua hari setelah kedatanganku, salah satu Guru Besar UGM dinyatakan positif Covid-19 sampai-sampai (kabarnya) kampus Kedokteran dan Teknik harus dikosongkan selama jangka waktu tertentu dan disemprot disinfektan. Kampus-kampus itu dan rumahku yang hanya berjarak kurang dari 2 km, dan itu membuat aku langsung memutuskan untuk #dirumahaja serta membatalkan semua rencana jalan-jalan dan kulineran. Selama seminggu di Jogja, aku keluar rumah cuma sekali untuk beli bahan makanan di Superindo. 

Sewaktu aku berangkat ke Jogja, nggak pernah terbayangkan hal berat yang akan aku jalani di hari-hari berikutnya; aku harus meninggalkan Baby R di Jogja bersama eyang-eyangnya untuk jangka waktu yang tidak jelas sampai kapan. Pertimbangannya, saat itu kondisi persebaran virus Covid-19 di Jogja masih "hijau" namun Surabaya sudah menjadi zona merah. Di samping itu, dengan kondisi masih ada WFO di kantorku, aku harus meninggalkan Baby R dengan pengasuhnya yang datang pagi-pulang malam. Risiko ia menjadi carrier pun juga menjadi salah satu pertimbanganku meninggalkan Baby R di Jogja. Sedih sekali, mengingat 10 bulan di kandungan + 16 bulan di dunia kami hanya pernah berpisah 1x dan hanya semalam.

Minggu-minggu pertama sangat terasa berat untukku berpisah dengan Baby R, ditambah pemberitaan pandemi yang luar biasa masif membuat aku overthinking dan overwhelmed. Aku menyadari aku stres. Stresku waktu itu ada di tahap malas makan (seorang aku sampai malas makan??), bosan bersosial media dan nonton TV, bahkan Netflix pun hanya aku gonta-ganti atau menonton trailernya saja. Aku bahkan menangis saat memeluk boneka kesayangan Baby R. Puncaknya, aku minta (nodong, red.) hiburan dari suamiku; makan steak favorit kami. Ternyata cara itu cukup ampuh untuk menaikkan lagi mood-ku yang sempat amburadul.

Minggu kedua, sepertinya aku sudah mulai memasuki masa adaptasi. Aku sudah bisa berdamai dengan perasaanku, meskipun untuk berpikir yang berat-berat (garap tesis, misalnya) masih belum bisa (plus cenderung sewot kalau ada yang tanya progress-nya sampai mana). Tapi secara keseluruhan, aku sudah bisa melakukan kegiatan-kegiatanku dengan cukup tenang tanpa emosi.

Minggu ketiga-keempat, sepertinya aku sudah mulai mencapai "my new normal"; sudah mulai terbiasa "pacaran" lagi dengan suami, masak-masak cuma buat dua porsi, kesana-kemari berdua, dan lain sebagainya. Perasaan kangen pada Baby R sudah bisa di-manage dengan cukup baik. Akhirnya, otak pun sudah bisa diajak kerja sama untuk mulai memikirkan tema tesis dan baca-baca jurnal (meskipun untuk mengetik one single word masih susah).

Dari pandemi ini aku belajar banyak hal, terutama masalah pengelolaan emosi dan perasaan. Memang benar, ada kalanya kita harus mengalah dan membiarkan perasaan sedih atau bahkan stres menguasai pikiran kita. Sementara saja. Nggak usah menampik atau berpura-pura kuat. Cukup akui kalau memang kita sedang stress, memberikan ruang untuknya, dan sebisa mungkin sambil memikirkan solusi supaya perasaan ini tidak berlarut-larut. Kondisi ini mungkin nggak hanya terjadi di aku saja. Bisa jadi kamu yang sedang membaca ini tengah mengalaminya.

Tapi ini bisa saja hanya berlaku untukku ya, bukan seperti obat yang cocok untuk semua orang. Bisa jadi ketika kamu stres, kamu memilih untuk melawannya dan itu bisa jadi berhasil di kamu. Lagi-lagi, hanya diri kita sendiri yang mengerti kebutuhan batin kita. Ikuti saja dulu maunya apa. Rangkul dulu perasaan itu.

Ngomong-ngomong, pernah aku membaca semacam artikel yang menyatakan bahwa apa yang terjadi pada bumi saat ini adalah konsekuensi dari kerusakan yang ditimbulkan dari manusia. Hutan yang merupakan paru-paru bumi menderita sakit parah dalam jangka waktu yang tidak singkat menjelang akhir tahun lalu. Dua kebakaran besar terjadi di Hutan Amazon dan di Australia.  Tak lama setelahnya, muncul lah penyakit yang menyerang paru-paru manusia dan merenggut banyak jiwa. Kebetulan?

Dengan adanya lockdown di berbagai negara dan juga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di berbagai kota di Indonesia, terbukti langit terlihat lebih biru. Korban jiwa yang berguguran, mungkin adalah cara bumi untuk mencapai her new normal. Pada akhirnya kita harus memberikan ruang, tidak hanya untuk diri sendiri atas perasaan tidak biasa yang muncul, namun juga ruang untuk bumi menemukan keseimbangannya lagi.





04 October 2019

Hello again!

Sekali-dua kali, rasanya merasa bersalah.
Tiga-empat kali, lalu keterusan.

Hahaha, begitulah drama "noles"-ku di blog ini. Yang tadinya sudah sempat rutin seminggu sekali selama setahun lamanya, runtuh begitu saja.

Lima bulan lamanya nggak nulis rasanya kangen sih pasti. Yang jelas setelah lama nggak nulis, kecepatan nulis tugas kuliah seperti essay atau paper pun juga menurun.  Kadang nulis itu jadi terapi selain jadi wadah menampung ide dan merekam kenangan (disamping foto dan video di hp). Dan tentunya, selama lima bulan vakum ini pun ada banyak hal yang terlewatkan, salah satunya kisah Baby R terkena Demam Berdarah (DB).

Waktu itu Baby R kira-kira umur 4 bulan. Sepulang dari perjalanan mudik dengan rute Surabaya - Banyuwangi - Surabaya - Bangkalan - Surabaya, Baby R tiba-tiba panas tinggi. Sudah mencoba skin-to-skin, tapi dia rewel banget tengah malam. Sudah diukur pakai termometer digital bolak-balik, tapi suhunya masih di kisaran 38 derajat. Tapi kok panas banget ya? Akhirnya setelah coba ditermo biasa (air raksa), ternyata suhunya di atas 39! Jujur aku sangat merasa bersalah karena kesalahan mungkin ada di termometer digital yang aku beli cukup murah :( Untungnya meskipun waktu itu sedang musim libur Lebaran, ada dokter yang praktek di RSIA dekat rumah. Tiga hari setelah periksa adalah hari pertama aku masuk kantor setelah lima bulan cuti. Baby R sama sekali tidak nangis waktu aku tinggal. Tapi matanya pun juga tidak berbinar. Baby R masih lemas. Aku pikir Baby R hanya butuh istirahat saja setelah berjibaku dari demam selama kurang lebih 3 hari. Aku tinggalkan Baby R bersama mamaku di rumah, berharap sepulang kerja Baby R sudah lebih baik.

Sekitar jam 9, mama meneleponku untuk mengabari bahwa ia akan membawa Baby R ke rumah sakit untuk cek karena kondisinya yang semakin lemas. Akhirnya aku menyusul langsung ke rumah sakit dan meninggalkan kantor segera setelah briefing Senin pagi pertamaku dengan pimpinan baru. Sesampainya di rumah sakit, aku lihat memang Baby R kondisinya sangat lemas; wajah dan ekspresinya campuran antara ngantuk dan teler. Setelah mengurus pendaftaran, ternyata dokter yang kami tuju sangat ramai pasien. Maklum habis musim mudik lebaran, kata susternya.

Melihat kondisi Baby R semakin pucat, aku langsung memutuskan untuk turun ke UGD dan memeriksakannya di sana supaya penangannya lebih cepat. Di UGD, Baby R langsung cek darah dan bintik-bintik di tangan. Setelah menunggu kira-kira dua jam, Baby R dinyatakan positif DB dan harus rawat inap di Rumah Sakit. Waktu itu Baby R harus opname selama 5 hari. Aku harus cukup bersyukur karena waktu itu tidak ada kuliah, hanya UAS saja yang kebanyakan take home, sehingga aku bisa ambil cuti kantor dan fokus menunggui Baby R.

Ada yang menarik waktu Baby R opname. Di hari ketiga, beberapa teman kantor datang menjenguk. Baby R yang tadinya lemas, matanya langsung berbinar. Tidak lama kemudian mimik wajahnya berubah ceria dan ia pun aktif ingin berguling. Sayangnya, ia tertahan tangan yang dibebat. Ia semacam ingin memamerkan ke teman-teman kantorku kalau dia sudah bisa ini-itu. Lucu yah? :")

Well, semoga Baby R nggak perlu sakit dulu baru pinter ini-itu yaaah. Dan semoga kita semua dan keluarga selalu diberi kesehatan dan berada dalam lindungan-Nya.

Berhubung ini masih di kantor nulisnya dan orang-orang sudah pada pulang, lain kali aku lanjut cerita lagi yah. Sumpah, rasanya benar-benar mengobati rindu sih "noles" di sini. Semoga teman-teman Genk Noles yang lain juga semangat nulis lagi yaah..



12 May 2019

Nostalgia slash Mellow-ria

Kemarin Sabtu, tiba-tiba muncul 2 notifikasi yang memberitahu bahwa nomor WA-ku baru saja dimasukkan ke dua grup kantor. Wah wah.. Ini nih, tanda-tanda bahwa cuti melahirkan sudah mau habis dan saatnya kembali ke dunia nyata; dunia kerja. 

Aku nggak menyangka bahwa ternyata seberapa lama pun waktu cuti kalau dihabiskan bersama anak, pasti nggak akan pernah ada kata cukup. 

Menengok kebelakang, sekitar lima bulan yang lalu aku memutuskan untuk mengambil cuti tepat di hari Senin, 31 Desember 2018. Alasannya, rumah yang aku tempati saat ini cukup jauh dengan lokasi kantor baru tempat unit baru berada (sekitar 45-60 menit perjalanan) yang aku rasa perjalanannya kurang hamil-tua-friendly. Selain itu, suamiku merasa aku kurang istirahat dan kurang "masa tenang" selama hamil karena malam harinya masih kuliah. Selain itu dari aku pribadi alasan terpentingnya adalah... Unit lama bubar dan aku dimutasi ke unit baru yang kalau aku tetap masuk pasti akan merepotkan karena baru masuk sebentar, dikasih tanggung jawab, eh cuti hampir satu semester. 

Jadi ingat juga masa-masa sendirian di rumah waktu hamil tua dan suami kerja. Hampir tiap hari eksplor masakan ini-itu bahkan sehari bisa 3x masak masakan berbeda untuk 3x makan, nyapu-ngepel, cuci-jemur-lipat baju dan mengerjakan segala kegiatan domestik lain, ditambah yoga dan main enjot-enjotan di gym ball sambil harap-harap cemas kapan Nak Bayik keluar. Sempat mengalami siklus semangat menjelang minggu kedua Januari (perkiraan lahir tercepat) dengan bolak-balik ngecek hospital bag dan buka-bukain laci baju Nak Bayik, berlanjut dengan agak panik karena nggak lahir-lahir menjelang akhir Januari, sampai akhirnya "chillax" terserah si Eneng aja kapan mau keluar. Karena eh karena, sebetulnya yang dipanikkan adalah masa cuti yang semakin berkurang kalau doi nggak cepet keluar sehingga waktu kebersamaan kami berkurang.

Tapi yah.. Bagaimana pun aku tetap bersyukur, sangaaat bersyukur bisa membersamai tumbuh kembang di empat bulan pertamanya. Meskipun "not always rainbows and butterflies", tapi secara keseluruhan... yang aku nggak menyangka juga... ternyata aku sangat menikmati perjalanan "motherhood" ini dan nggak mengalami baby blues yang parah. Yaaa secara ya, buat orang-orang yang kenal aku langsung mungkin tahu bagaimana tingkahku: sangat tidak anggun dan keibuan. Ditambah lagi aku anak tunggal yang nggak pernah "pegang" bayi, serta posisiku di beberapa circle pergaulan menjadi yang paling muda. Aku sendiri menyimpan perasaan nggak pede sebagai seorang ibu. Tapi dengan adanya cuti yang cukup panjang ini, "chemistry" dan instingku dan anakku (tapi terutamanaku) menjadi cukup terasah.

Nah dalam postingan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih atas kebijakan tambahan waktu cuti melahirkan yang diberikan oleh CEO baru perusahaanku (yaa kali-kali doi baca blog ini yakhaan). Bagaimana pun niat beliau baik, yakni untuk meminimalisir baby blues dan mendukung pemberian ASI eksklusif 6 bulan (kalau gitu berarti kurang sebulan nih Pak jatah cutinya hihihi). Lalu untuk suami dan mamaku yang menjadi "support system" terdekat, serta bapakku dan ibu mertuaku untuk support jauhnya. Dan yang terpenting, terima kasih kepada anakku yang sudah sangat suportif sehingga perjalanan menjadi ibu baru ini menjadi jauh lebih ringan dibanding yang pernah aku bayangkan sebelumnya. Thank you, Nak. ❤

Ngomong-ngomong, sejak hari pertama puasa aku sudah mulai mengomunikasikan dan memberi sugesti positif kepada Nak Bayik bahwa bulan depan aku mulai kerja lagi. Namanya juga usaha yah, semoga nanti tiba di hari H-nya aku kembali bekerja nggak ada drama diantara aku dan Nak Bayik serta mamaku yang untuk sementara waktu akan menjaganya. Doakan kami! :D


Love,