Well, saya sudah nervous dari jauh- jauh hari sebelum tanggal ulang tahun saya tahun ini datang. Dua Puluh. Saya selalu membayangkan akan seperti apa kehidupan saya di usia dua puluh, dua puluh satu, dan dua puluh sekian di tahun- tahun mendatang. Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya melepas kata "belas" di belakang angka kepala umur saya. Saya selalu membayangkan tidak lagi menjadi "teenage" dan tidak bisa lagi menyombongkan diri menjadi yang paling muda diantara teman- teman yang sudah berkepala dua.
Saya sudah nervous dari jauh- jauh hari.
Beberapa waktu yang lalu, jauh sebelum hari ulang tahun saya, saya sempat ngobrol dengan orang tua saya. Saya ingin kursus ini, saya ingin mencoba itu, saya ingin mengembangkan bakat ini, saya ingin menjadi itu. Semua dipatahkan. Dua puluh bukan lagi usia untuk coba- coba, kata mereka. Saya harus mempersiapkan diri untuk karir dan masa depan saya. Sekarang sudah bukan lagi waktunya mengembangkan bakat di lain bidang. Seharusnya saya sudah fokus pada dunia akademis dan mengembangkannya untuk kehidupan mendatang.
Iya, mereka orang tua saya dan sudah makan asam garam kehidupan. Pertanyaan saya, am I that old?
Saya sangat bersyukur tahun ini saya lewati bersama sahabat, pendamping, dan kritikus yang baik. Pacar saya, Lana. Saya ceritakan kegaduhan hati saya waktu itu. Tentang karir kedepan (tuntutan orang tua) dan minat yang ingin saya kembangkan. Bagi saya, mengembangkan minat itu perlu. Who knows saya gagal di akademis dan saya harus survive melalui bakat saya. Dan sejujurnya, saya agak panik dengan ke-dua-puluh-tahunan saya dan segala argumen dari orang tua saya mengenai karir dan kuliah.