18 January 2013

Hari ke-10 : Payung Teduh


Tuhaaan.. Rasanya sulit sekali menulis ditengah kantuk maupun mood menulis yang terbang entah kemana. Kontras sekali semangat menulis saya saat ini dengan waktu pertama mendaftar proyek 30HariBercerita akhir Desember lalu. Saat semangat dan ide menulis sudah tersedot ke papers untuk ujian akhir, menghadap layar laptop yang terang yang tersisa hanya rasa kantuk, rasa ingin refreshing dengan browsing kesana-kemari, atau sekedar melanjutkan menonton film seri favorit saya saat ini, Fringe.


Setelah beberapa hari mangkir, akhirnya saya mencoba menyemangati diri saya sendiri dengan mulai menulis tentang salah satu album favorit saya, Dunia Batas milik Payung Teduh. Tidak ada hal yang terlalu heroik saat menemukan CD ini terselip diantara album-album lain di DiscTarra selain keberuntungan karena waktu itu stok album ini tinggal satu-satunya. DiscTarra yang saya maksud adalah satu yang terletak di dalam Carrefour Amplaz, yang kalau kata saya sih kadang koleksinya sering  ajaib. Coba saja! :)




Awalnya saya belum terlalu familiar dengan lagu-lagu mereka. Hanya mendengar beberapa lagunya via Youtube. Sampai akhirnya pacar, yang telah lebih dulu suka, menonton performa mereka di Borobudur sekitar Oktober lalu. Pacar bilang personel Payung Teduh sangat ramah bahkan rela membuat konser kecil di backstage usai mereka turun panggung untuk memainkan lagu-lagu request para pecintanya yang belum dimainkan di atas panggungMakin penasaran lah saya. Hingga akhirnya saat menemukan CD mereka terduduk manis di rak DiscTarra, saya tanpa ragu langsung membelinya.


Agaknya memang para anggotanya sengaja berkonspirasi untuk melakukan sinkronasi antara nama dan lagu-lagu yang mereka buat. Payung Teduh, dengan nada-nada yang meneduhkan, menentramkan, menenangkan. Kesederhanaan instrumen yang mereka gunakan berpadu dengan cantik dengan lirik puitis yang sarat akan kerinduan. Pun, mereka memvisualisasikan kerinduan itu dengan potret percikan air hujan di kaca yang mereka letakkan di bagian dalam sampul album. Saya menjadi yakin bahwa sebenarnya saya bukanlah satu-satunya orang yang bisa merasa mellow atau mendadak rindu saat melihat hujan perlahan turun dan meninggalkan titik-titik air di kaca.

Lagu pertama, Berdua Saja, berhasil menyihir saya seketika menjadi penggemar mereka. Petikan contra bass dan gitar mendominasi di awal, menyatu sempurna dengan sentuhan vokal yang tegas dan bersahaja. Lagu-lagu selanjutnya bernafaskan nada-nada serupa dengan aksen keroncong yang kental. Sekilas saya teringat beberapa tahun yang lalu ketika saya menyadari saya jatuh cinta pada keroncong, ketika musik yang saya dengar di siaran tengah malam sebuah radio lawas lokal dengan kekuatannya berhasil meninabobokkan saya dengan manisnya.

Di beberapa lagu, instrumen lain dihadirkan untuk mempercantik lagu. Seperti salah satunya pada Untuk Perempuan Yang Sedang Di Dalam Pelukan, suara piano berhasil mengharmoni ditengah lagu yang (dalam imajinasi saya) bercerita tentang kekaguman seorang lelaki terhadap wanitanya yang berada dalam pelukan sebelum ia memejamkan mata menuju dunia mimpi. Instrumen lain adalah akordeon, hadir pada lagu Di Ujung Malam yang membuat lagu minor ini makin dalam makna rasanya. "Berbahagialah orang-orang yang dirindukan di ujung malam," komentar mereka di bawah lirik lagu ini. 

Salah satu lagu favorit saya adalah Angin Pujaan Hujan. Melodi gitar dan guitalele yang mengalun, akan sangat sempurna ketika didengarkan melalui headset dimana kedua melodi tersebut akan bersahut-sahutan di telinga kita. Lirik puitis "Sang pujaan tak juga datang. Angin berhembus bercabang. Rinduku berbuah lara," akan menambah derajat kerinduan seseorang, apalagi jika mendengarkannya ketika rintik hujan mulai turun. 

Satu lagi favorit saya, Rahasia. Lagu terlama, berdurasi hampir tujuh menit yang begitu pilu dan penuh ironi; ketika permintaan atas kembalinya seseorang terpatahkan dengan penggambaran melalui lirik-lirik menyayat seperti "Berikan tanganmu jabat jemariku. Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu. Berikan suaramu balas semua bisikanku memanggil namamu." Bagian paling putus asa menurut saya ada pada "Atau kau ingin aku berteriak sekencang-kencangnya agar seluruh ruangan ini bergetar oleh suaraku." Masih sering merinding ketika mendengar lagu ini di saat yang "tepat".


Terlepas dari anggapan beberapa orang yang menilai Payung Teduh terlalu kaku dalam liriknya yang puitis, maupun cibiran bahwa kata-kata yang dipilih sebenarnya biasa saja namun mereka hanya sok puitis, Payung Teduh dengan ciri musik yang menurut saya sangat Indonesia berhasil dicintai para penikmat musik. Tempo lagu yang pelan dan dibawakan dengan santun bekerja dengan baik dan berhasil membuat para pendengarnya menemukan tempat beristirahat dalam diri mereka sendiri, berhasil memberi ruang ketenangan dalam pikiran mereka, serta berhasil membantu menemukan pelarian atas tekanan-tekanan atau kepenatan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti, setelah peluncurannya di tengah tahun 2012, Payung Teduh dinobatkan sebagai Best New Comer ICEMA Award 2012 akhir November lalu.

5 comments:

  1. payung teduh memang oke ;) numpang blogwalking yaaa :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. yap, setuju banget. monggo, selamat menikmati.. :-)

      Delete
  2. aaaaakkkkk keren tulisannyaaa.. aku juga cinta Payung Teduh :'>

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasiiih, dear sesama pecinta Payung Teduh :'D

      Delete
  3. Salah satu penggalan lirik lagu yang saya suka :

    Seperti yang biasa kau lakukan
    Di tengah perbincangan kita
    Tiba-tiba kau terdiam
    Sementara Ku sibuk menerka
    Apa yang ada di pikiranMu.

    Salam pecinta Payung Teduh :D

    ReplyDelete